BOOK 1 (Kasus Pencurian Lidah
Api Monas)
Cerita ini hanya fiktif
belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu semua
adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Instasi atau
organisasi terkait merupakan karangan fiktif serta tidak mewakili instasi atau
organisasi yang sebenarnya.
Chapter 1 Momoka Yoshie
Kerongkongan yg kering, kaki dan
tanganku terikat mulai terasa perih, tikus berjalan mondar-mandir mencari
makanan. Ruangan yg gelap, hanya ada satu lampu tepat diatas aku duduk terikat.
Tidak ada rasa takut lagi, air mataku sudah kering. Hanya ada rasa lelah dan
mengantuk.
"Papa....das...ke..te..."
Akupun mulai memejamkan mata
menyerah pada keadaan ini.
Kreeek....Terdengar suara pintu
yg terbuka. Perlahan Aku membuka kembali mataku. Cahaya masuk menyinari ruangan
dingin dan senyap itu, diikuti suara langkah yang indah, seakan membuatku
teringat indahnya konser musik clasic kado indah yang diberikan papah saat
ulangtahunku.
"Daijoubu...Daijoubou..."
Seorang anak laki-laki dengan
topi baseball berlari kearahku, Ia membelaiku dengan kasih sayang. Aku
tersenyum lega tapi mataku yang bertambah berat membuatku menyerah akan rasa
kantukku.
Kriiing.....Kriing....kriiing.
Aku meraba-raba meja disampingku,
mencoba mematikan alarm itu. Walau hari ini adalah tahun ajaran baru tapi entah
mengapa aku sama sekali tidak semangat. Setelah mengusap pelan mataku aku mulai
bangun dari tempat tidurku, tertutup dan terbuka, mataku masih melawan rasa
malasku. Berjalan seperti zombie aku melangkah menuju pintu kamarku,
meraba-raba lagi mencari daun pintu dengan mata setengah tertutup, berhasil
mengapainya aku kemudian membukanya lalu berjalan beberapa langkah.
"Boing." Aku merasa
menabrak sesuatu yang lembut, seperti bantalan empuk, atau balon yg hangat. Aku
tersenyum bersandar sebentar berharap bisa melanjutkan tidurku.
"Ohayou ojou-sama."
Sapa bantalan empuk yg bisa bicara itu.
"Oha..." jawabku
menatap bantalan itu.
"Mirip seperti melon atau
semangka ya? Entahlah yang pasti cukup besar." Tanyaku dalam hati sambil
menguap berusaha menyerang balik rasa kantukku.
"Ojou-sama sarapan sudah
siap." Sapanya sambil mengusap mukaku dengan handuk hangat. Bantalan empuk
yg ternyata adalah "melon" milik pelayanku.
"Sakura-san bagaimana bisa
sebesar ini?. " Aku menunjuk dengan tatapan sinis kearah "melon"
itu.
"Jangan bilang hanya karna
minum susu, karna itu sama sekali tidak berhasil." Lanjutku sambil menatap
dua "apel" kecil milikku.
Tanpa mengindahkan pertanyaanku
sakura-san hanya tersenyum, terus mengusap mukaku dengan handuk hangat. Rasa
iri ku akan "melon" miliknya itu pun mengalahkan rasa kantukku.
Setelah merapikan rambut dengan tanganku aku kemudian berjalan melalui lorong
yang luas menuju ruang makan. Tanpa berbicara Sakura-san setia mengikutiku dari
belakang.
Sakura-san adalah pelayanku sejak
kecil, bagiku dia sudah seperti ibuku sendiri. Saat aku sendirian dirumah yg
besar, atau saat berpergian dinegara yang asing Sakura-san selalu disamping ku.
Saat hari ulang tahun yang dingin dan sepi, Sakura-san selalu menghiburku.
Hangat nya pelukannya disaat aku menangis adalah sesuatu yang sangat berharga.
Senyuman nya yang manis dan hangat tidak tergantikan. Entah itu memang kasih
seorang ibu atau kesetian seorang pelayan aku tidak pernah mengetahuinya, tapi
aku sudah cukup puas walaupun mungkin sakura-san tidak memliki perasaan yg sama
denganku. Wajar saja sejak aku lahir aku tidak pernah merasakan cinta dari
seorang ibu.
Sesampainya di ruang makan, aku
terkejut melihat seorang pria setengah baya duduk sambil memainkan tab nya.
Seorang pria yang jarang ada di pagi seperti ini. Seharusnya aku senang
melihatnya bisa sarapan bersamanya. Akan tetapi luka yang kuberikan padanya tak
termaafkan. Bersamanya akan menambah luka hatinya. Seakan menusuk hati
seseorang dengan dua pedang yang berbeda.
"Ohayou papah." sapaku
sambil mengecup pipinya.
"Ohayou, tetap semangat
sekarang sudah kelas 2." Jawab papah dengan kaku.
Aku mengangguk berusaha tersenyum.
Aku meraih roti dan kemudian mengoleskan margarine diatasnya.
"Keberadaanku telah
merenggut sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, wajar saja jika papah
membenciku." Aku melirik ke arah papah sambil berbicara dalam hati.
Tanpa berbicara aku mengeser
bangku kebelakang lalu beranjak pergi, roti yg sudah kuoleskan margarine sama
sekali tidak ku makan. Papah hanya menunduk kearah piring sarapannya. Terdiam
kaku seperti patung, tidak berbicara ataupun menoleh kearahku. Sakura-san
melihat kearahnya, khawatir dengan hubungan kita yang tak pernah membaik.
"Haaah.." aku kembali
kekamar menghela napas, membuka lemari mencari seragam sekolahku.
"Seharusnya ini kan
pekerjaan Sakura-san."
"Ah seandainya saja aku bisa
bertemu lagi dengannya, menyelamatkan aku sekali lagi dari hidupku yg suram
ini."
"Sepertinya aku masih belum
bisa melupakannya, seorang pahlawan dimasa kecilku."
Tanpa sadar aku menggenggam
hairpin berbentuk kupu-kupu yang lucu kenangan indah dari masa lalu.
"Cethosia Myrina namanya ya,
setidaknya itu yg dikatakan ojii-san."
"Oh tuhan setidaknya ijinkan
lah aku untuk berterimakasih padanya."
"Walaupun samar, aku masih
ingat sebagian besar kejadiannya."
Aku memasukan hairpin itu kedalam
pelastik dan kemudian memasukannya kedalam tas sekolahku.
Samurai yang kau cari ada
disini.
Isi surat yg kuterima bersamaan
undangan untuk bersekolah di tempatku menimba ilmu sekarang.
"Sudah satu tahun lebih,
sepertinya hanya orang iseng. Mempunyai harapan memang menyakitkan." Aku
bergumam dalam hati.
"Ojou-sama air nya sudah
siap."
"Eeeehhhh.....dari mana kau
masuk??" Aku menengok kebelakang terkejut melihat datang nya suara
misterius itu.
Salah satu keanehan dari
pelayanku ini, dia bisa muncul tiba-tiba dari mana saja. Kadang aku berfikir
klo Sakura-san ada lah keturunan ninja. Ditambah dia selalu tersenyum setelah
mengagetkan aku, membuatku yakin dia melakukannya dengan sengaja. Dengan
perasaan setengah jengkel akupun pergi menuju kamar mandi.
Tepat jam 6 pagi aku berangkat
menuju sekolah, menyusuri teras rumahku, aku melirik sebentar mencari mobil
papah yg ternyata sudah tidak ada.
"Ojou-sama hari ini tidak
naik mobil?"
Tanya supirku yg berdiri
disamping mobil hitam yg tampak selalu bersih dan mengkilap itu. Badan nya yg
besar dan tinggi kadang membuat teman-temanku takut jika melihatnya membukakan
pintu saat mengantarkan atau menjemputku aku kesekolah. Tingginya kira-kira 180
cm lebih ditambah luka seperti sayatan diwajahnya membuatku tidak heran dengan
sikap teman-teman sekolahku. Dan klo tidak salah Sarahada-san juga mantan
anggota yakuza seperti papah. Itu mungkin yg menambah aura seramnya. Tapi
walaupun begitu Sarahada-san merupakan pria yg lembut , sesekali aku melihatnya
memberi makan kucing liar di halaman belakang rumah, bahkan saat melihat burung
gereja yang mati di taman rumahku Sarahada-san menangis tersiak-siak didepan
ku. Dan saat itulah aku yakin yg dikatakan oijisan benar adanya.Jangan
menilai buku hanya dari sampulnya saja.
"Ngak deh, jalan kaki lebih
sehat, trus ada tempat yg mau Aku kunjungi juga."
"Mau dijemput pulangnya
ojou-sama?"
"Nanti aku telpon ya..
sekarang tahun ajaran baru jadi harus mengikuti kegiatan klub, aku mau
keliling-keliling cari klub yg tepat, soalnya ktanya klo ga mengikuti kegiatan
klub sama sekali nanti ga bisa naik kelas."
"Klo begitu hati-hati ya
ojou-sama."
"Lagian deket kan jarak
kesekolah ga sampe 1 kilo, dah ya sarahada-san,Matta ne.."
"Iterasai ojou sama.."
Setelah melambaikan tangan,
akupun mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah yg besar dan sepi itu. Aku
juga punya alasan lain untuk tidak naik mobil hari ini, saat jogging kemarin
sore aku menemukan anak anjing yang terlantar dipohon dekat taman komplek
rumahku. Aku meraba tasku mencari makanan anjing yang aku siapkan dari semalam.
Dengan perasaan gembira aku setengah berlari menuju pohon yg rindang itu.
Akan tetapi perasaan gembira yang
seharusnya hangat itu berubah jadi rasa dingin, seakan membuatku menggigil.
Gigiku sedikit bergetar. Aku tidak percaya apa yg aku lihat dengan kedua bola
mataku.
Seorang cwo berdiri dengan blazer
yang sama denganku. Tangannya yang kotor, dan kardus disampingnya yang
seharusnya jadi rumah anjing kecil itu, berubah menjadi tidak berpenghuni. Air
minum yang kemarin aku berikan pada anjing itu berubah kosong, dalam hati aku
masih tidak percaya. Tumpukan tanah didepan cwo itu menguatkan semuanya, pohon
yang rindang itu menjadi persemayaman terakhir anjing kecil itu.
Setelah mengusap matanya cwo itu
berbalik, tersenyum lalu berkata.
"Kmu yg memberikan minum nya
ya?."
Aku hanya menganguk, sedikit
tersipu aku mengalihkan pandanganku kearah tumpukan tanah itu. Aku mengenal cwo
itu, kita pernah sekelas, walaupun jarang masuk dia cukup terkenal disekolah,
dia selalu mendapatkan peringkat lima besar dalam setiap ujian, tapi kupikir yg
membuatnya terkenal bukan itu, rumor yang mengatakan bahwa keluarganya teroris
mungkin yang membuatnya jadi pusat pembicaraan. Aku hampir tak pernah melihat
orang lain menyapanya selama sekelas dengannya tahun lalu. Cukup jahat memang,
dan aku mengakuinya aku bagian dari kejahatan itu.
"Yoshie-san?."
"Eh..iya kenapa?."
Aku kaget dia mengingat namaku,
Dia menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna putih dengan motif bunga mawar
merah. Tanpa aku sadari tetesan airmata mengucur dipipiku.
"Aku pikir orang islam tidak
menyukai anjing." Kataku sambil mengelap airmataku.
"Sepertinya Yoshie-san salah
paham, air liur anjing memanglah najis dalam islam, tapi islam mengajarkan
untuk menyayangi dan menghormati semua mahluk hidup, termasuk hewan dan
tumbuh-tumbuhan."
Aku menatapnya dengan serius.
Mungkin dia seperti Sarahada-san yang hatinya baik. Walaupun rambutnya kriting
dan seperti acak-acakan, pinggiran rambutnya dicukur rapi. Tinginya kira-kira
175 cm, kulitnya coklat dan bersih, senyumnya yang manis membuatku canggung
hanya berduan dengannya.
"Momo panggil saja
momo." Kalimat itu terucap begitu saja tanpa aku menyadarinya.
"Oh ya momo-san kita sekelas
ya tahun lalu, dan sepertinya akan sekelas lagi." Aku hanya mengangguk.
"Namaku Satria in case momo
lupa."
"Aku ga lupa, tapi darimana
kmu tau kita bakalan sekelas lagi?." Menggelengkan kepala ku dengan cukup
keras, aku berbohong seakan-akan mengingat namanya.
"Cuma feeling"
Dia tersenyum lagi, aku sama
sekali tidak tau maksudnya. Apa dia mencoba menggoda ku?. Jika benar dia cukup
berhasil, jantungku semakin berdetak dengan kencang. Dadaku terasa sakit
berharap momen ini segera berakhir.
"Kenapa anjing kecil ini
meninggal, padahal kemarin sepertinya dia cukup sehat." Tanyaku dengan
canggung.
"Dasar bodoh!, aku justru
memperlama momen mendebarkan ini." Gerutuku dalam hati.
"Hmm... Aku ga tau pasti,
tapi kemungkinan terbesarnya adalah kehangatan seorang ibu."
"Kehangatan seorang
ibu?."
"Yah hangatnya dekapan
seorang ibu sangat berarti bagi bayi sepertinya."
Aku memeluk erat tas yg kubawa,
membayangkan tas itu adalah anjing kecil yang malang itu.
"Anu.. maaf apa rumor itu
benar?."
"Dasar bodoh, dasar bodoh
dasar bodoh apa yg kukakatakan." Aku panik luar biasa menyadari kalimat yg
aku ucapkan.
"Klo keluargaku
teroris?."
Aku menganguk dengan perasaan
bersalah.
"Itu fakta, kakakku memang
seorang teroris, Desert Witch wanita paling dicari diseluruh dunia, tapi
beberapa bulan lalu dia dikabarkan meninggal."
Dia tersenyum, tapi senyumannya
berbeda dengan yg sebelumnya, senyuman dipaksakan, seakan menelan obat yang
pahit dalam kesedihannya.
"Maaf maaf maaf maaf....Aku
tidak bermaksud." Aku panik merasa bersalah menundukan kepalaku berulang-ulang.
"Hahaha...ga papa kok...ini
melegakan, sesekali bisa berbicara dengan teman sekelas."
Senyuman manis itu terlukis lagi
diwajahnya. Tanpa sadar aku ikut tersenyum.
"Ini momo-san."
"Eh apa ini."
Aku panik bukan kepalang, dia
tiba-tiba mendekat memberikan bunga merah kecil kepadaku. Tanpa sadar aku
meraihnya. Medekapnya erat, seakan-akan tak mau kehilangannya. Tapi betapa
malunya aku setelah tau bunga itu bukan untukku. Dia menyebarkan bunga itu
ketumpukan tanah itu, persemayaman anjing kecil yg malang. Menoleh kearahku dia
tersenyum seakan menyuruhku melakukan hal yg sama. Aku yg sudah ke Ge-eran
segera beranjak dari tempatku berdiri, dengan perlahan aku menaburkan bunga
itu, aku berdoa sebentar berharap anjing kecil yg malang mendapatkan hal yg
lebih baik. Aku berdiri menganguk kearah cwo itu menandakan bahwa aku sudah
selesai menyucapkan perpisahan dengan anjing kecil itu.
"Klo kmu ga keberatan, Mau
bareng momo-san?."
"Iyah."
Aku menjawab dengan nada pelan.
Aku berjalan selangkah dibelakang
nya, tanpa berbicara apapun. Dia berusaha melambatkan langkah nya bersusah
payah menyesuaikannya dengan langkahku, sesekali menoleh kebelakang seakan
mengkhawatirkan aku, jikalau aku tertinggal. Waktu seakan-akan berjalan lebih
lambat, aku bisa merasakan sentuhan halus angin yang berhembus dengan pelan,
jarak kesekolah yang hanya berjarak 100 meter seakan bertambah jauh. Aneh
memang beberapa menit yang lalu aku berharap agar momen ini cepat selesai.
Jantungku yg tadinya berdegup kencang, mulai melambat, perasaan nyaman, aman
berada didekatnya seperti menyihir perjalanan yang singkat itu. Tanpa sepatah
kata pun, hanya ada suara indah dari langkah sepatu anak laki-laki dan
perempuan, seperti melodi kehidupan dipagi yg hangat.
Tanpa sadar gerbang sekolah telah
terlihat dari kejauhan, dua orang siswi melambai kearahku.
"Duluan ya momo, aku mau
cuci tangan sebentar."
"Tunggu satria..."
Aku berniat mengembalikan sapu
tangan miliknya. Tapi apa daya tanpa menoleh dia berlari meningalkan aku.
"Momoka-chaan."
Seorang siswi memelukku dengan
erat, lalu menempelkan pipinya kepipiku, seperti seekor kucing yg manja.
"Apasih Fani...pagi-pagi
udah heboh banget." Balasku dengan nada bercanda
Siswa yg satunya mengelus
kepalaku. Seperti mengangap aku hewan periharaannnya.
"Kita ga sekelas lagi..Hiks
hiks."
"Massa sih?, tapi bagus deh
jd ga berisik..hahaha."
"Momo jaat, tapi aku sekelas
sama anggie, yay yatta nee."
"Ahh Curaaaaang."
Anggie hanya tersenyum
mendengarkan pembicaraan kita yg aneh. Mereka berdua adalah teman sekelasku
saat aku kelas 1, Fani cwe yg energik dan mudah bergaul, sedangkan anggie
adalah cwe yg pendiam dan pemalu. Dan entah kenapa kita bertiga bisa menjadi
sangat dekat, dan dikenal sebagai tiga combo siswi dikelas yg sangat berisik.
"Fani pasti kesepian hiks
hiks."
"Tenang aja aku akan selalu
ada bersama kalian, tepatnya disini, dibongkahan es yg menenggelamkan titanic
ini." Sambil tersenyum aku menunjuk kearah dada nya yg cukup besar untuk
ukuran siswi SMA.
"Kyaa momo echii!."
Anggie tertawa pelan melihat ulah
jenaka fani dan aku.
Setelah mengobrol tidak karuan
selama beberapa menit, kami berpisah menuju kelas masing-masing. Menaiki tangga
dengan perlahan, aku menyusuri satu persatu kelas. Disetiap pintu tertempel
kertas berisi denah bangku beserta nama-nama muridnya. Setelah menemukan kelas
baruku, sedikit kaget aku melihat satria yg duduk dibelakang memandangi
lapangan sekolah melalui jendela. Aku melihat kertas dimeja guru untuk
memeriksa lagi dimana tempat dudukku. Aku berjalan menuju meja yg paling
belakang. Satria melirik kearahku seakan menyadari keberadaanku. Saat aku
berusaha menyapanya dia justru memalingkan wajahnya.
"Haaah...sombong
sekali."
Gerutuku dalam hati. Sedikit
kecewa akupun duduk tepat disampingnya. Hanya ada satu bangku kosong yg belum
terisi yg memisahkan Aku dan Satria.
Tanpa sebab yg aku ketahui, aku
menyadari pandangan sinis cwe berkerudung dipojok meja terdepan. Aku menunjuk
diriku mencoba membalas tatapannya yg tajam, tapi entah kenapa justru dia
memalingkan wajahnya yg angkuh itu.
"Sepertinya hari ini semua
orang membenciku."
"Massa sih?."
"Eh."
Aku kaget melihat ada gadis yg
duduk disampingku menjawab suara hatiku yg tanpa sengaja keluar dari bibirku.
Sama seperti sakura-san hawa keberadaan nya hampir tidak ada. Rambutnya pirang,
bibirnya yg berwarna merah muda, bola matanya berwarna hijau, bulat dan besar,
membuatku terkagum akan keindahan wajahnya.
"Klo aku cwo mungkin
langsung jatuh hati."
Kataku dalam hati seakan mengakui
kekalahan.
"Namaku Elisabeth, salam
kenal ya."
"Aku Momoka Yoshie, panggil
saja Momo, salam kenal juga."
Jawabku dengan canggung.
"Siapa tuh? Pacar kmu
ya?."
Gadis cantik itu tersenyum sambil
melirik kearah Satria.
"Eh bukan bukan!!."
Aku panik bangkit dari tempat
duduk ku, tanpa sadar seluruh kelas mendengar suaraku yg cukup keras itu.
Spontan semua tertawa kecil,
menatapku. Aku yang malu berat duduk kembali, menghela nafasku, cwe berkerudung
itu pun kembali menatapku dengan tajam namun setelah melihat satria yg ikut
tersenyum, entah mengapa itu cukup menenangkanku.
"Pffftttt...pffttt...gadis
yg cukup menarik...lucu bgt sih kmu...pffft..."
Gadis berambut pirang itu
bersusah payah menahan tawanya. Tak lama kemudian bel berbunyi, seluruh murid
dikelas bergegas menuju tempat duduknya.
Chapter 2 Sebab Akibat
Apa tahun ini akan seperti
tahun-tahun sebelumnya. Mencari jalan yg sama, mencari alasan yg sama. Jawaban
yg tidak pernah aku temukan, hikmah dalam sebuah tragedi. Ujian atau sebuah
hukuman?. Yang kudapat hanya jalan buntu. Berusaha meraih sesuatu yg hilang,
jasad yg tidak pernah ditemukan. Menjadi rangkaian benang kusut dalam hidupku.
"Bzzz...Bzzz...Bzzz."
Smartphoneku bergetar, Aku
terbangun dari lamunan pagiku, lalu merogoh saku ku.
"Ya ada apa paman."
Aku menjawab dengan nada pelan.
"Yo satria, sepertinya kita
dalam masalah besar, informasinya seharusnya solid dan sangat dipercaya tapi
entah kenapa kita sama sekali tidak menemukannya."
"Jelaskan Fakta-fakta nya
dengan detail paman."
"2 bulan yg lalu interpol
mendapatkan informasi 4 peti kemas berisi heroin murni akan diselundupkan
melalui batam, kita sudah membongkarnya dengan teliti tapi hanya buah-buahan
yang sudah busuk didalamnya."
"Hmm... Apa peti kemasnya
terlihat baru atau mempunyai warna yg tidak lazim paman?"
"Yah benar sekali! Luar
biasa kmu satria! warna peti kemasnya seperti baru."
"Klo duganku benar jika
paman menggunakan anjing pelacak, anjingnya pun akan bertingkah aneh."
"Ya itu jg benar, tapi itu
hal yang wajar kan karna peti kemasnya berisi buah-buahan busuk."
Aku tersenyum, seakan merayakan
kemenanganku.
"Informasi itu benar paman,
heroine nya ada didalam peti kemasnya."
"Hahahahaha... jangan
bercanda kamu Satria kita sudah memeriksanya, tidak ada didalam."
"Bukan begitu paman,
periksalah peti kemas nya lagi, heroinnya diselendupkan melalui celah-celah
besi peti kemas, cat yg baru itu sepertinya dibuat khusus untuk mengelabui
penciuman anjing, dinding peti kemasnya akan terlihat lebih tebal klo
diperhatikan dengan baik. Heroinnya sudah menjadi bagian dari peti
kemasnya."
"Benar-benar tidak terduga!
Kita akan segera memeriksa nya. Nanti akan paman hubungi lagi,terima kasih
Satria."
Aku memasukan hanphone ku kesaku
blazerku, seraya melanjutkan sarapanku yg terhenti. Mencoba mengapai roti
didepanku, aku menyadari ada kertas yang tertindih saus tomat yg berada
disampingnya.
Maaf aku tidak pulang malam
ini. Ada uang dilemari kmu bisa pesan pizza atau makan diluar.
"Tulisan nya agak berantakan
tidak seperti biasanya, tidak ada piring bekas sarapan dimeja, kemungkinan ada
kasus yg mendadak."
Aku kemudian meremas kertas itu
ditanganku, lalu mencoba melemparnya ketempat sampah dari kejauhan.
"Nice!!" Aku
kegirangan bermain sendirian dirumah yg sepi ini.
Kedua orang tuaku meninggal sejak
kecil, sebelumnya aku tinggal dipanti asuhan bersama kakakku. Setelah kakak ku
menghilang, seorang polisi yang merupakan teman ayahku mengasuhku. Polisi
veteran yang baik dan sangat mencintai pekerjaannya, demi sebuah kasus bahkan
dia bisa tidak pulang selama beberapa bulan.
"Sepertinya sudah saatnya
berangkat."
Setelah selesai merapikan meja
makan bekas sarapanku, aku kemudian meraih tas diatas meja. Berjalan menuju
pintu antik yang keliatan cukup kekar dan kuat. Akan tetapi walaupun
kelihatannya begitu, karna sudah tua aku sering kesulitan saat mengunci atau
membukanya. Aku memeriksa handphone ku lagi, satu pesan masuk terlihat.
Terima kasih satria, Kmu benar
sekali, kami menemukannya xD :) :-*.
Aku menahan tawa melihat salah
seorang pimpinan interpol yang disegani anak buahnya mengunakan emote icon
dalam pesan singkatnya.
Hari yg cerah, walaupun sang
mentari masing setengah bersembunyi, perasaan hangat merasuk keseluruh tubuh.
Aku lalu meraih sang mentari dengan tanganku, mencoba menggenggamnya berharap
mendapatkan sensasi hangat yg berbeda.
Berjalan menyusuri taman, aku
terhenti melihat pasangan kakek dan nenek sedang berolahraga. Sesekali sang
kake meledek nenek itu yang kesulitan mengikuti gerakan lincah sang kake. Aku
bertanya dalam hati apa saja yg mereka lalui dalam hidupnya. Kebaikan dan
keburukan dalam setiap langkah kecilnya tetap membuatnya bersatu. Kekagumanku
pada mereka mengalahkan indahnya bunga yang sedang mekar disekitarnya. Kakek yg
menyadari tatapan anehku, tersenyum hangat.
Setelah membalas senyuman hangat
sang kake, akupun melanjutkan langkahku sambil menikmati udara sejuk yang sudah
langka diibukota ini. Dengan langkah yang pelan aku mengamati dengan tenang
kejadian-kejadian unik dipagi hari. Seorang anak kecil yg mengantar koran,
kucing yang tidur di bahu jalan, atau burung-burung kecil yg berkicau riang.
Pandanganku tiba-tiba terusik
pada kardus yang ada dibawah sebuah pohon besar. Aku perlahan mendekatinya.
"Anjing yg malang... Maltase
atau Shih tsu?."
Aku membuka tasku, mencari handuk
dan pengaris. Menaruh anjing yang malang itu dengan perlahan itu diatas handuk.
Dengan penggaris dan bantuan tangan, aku menggali tanah disamping kardus itu.
Selesai menggali aku melipat handuk itu sampai menutupi tubuh anjing kecil itu.
Kemudian sedikit demi sedikit aku menimbunnya dengan tanah.
Saat aku bangkit, aku menyadari
ada kotak makanan disamping kardusnya.
"Hmm...Tidak ada bekas
makanan, Hanya ada sedikit air di atasnya... Semalam juga tidak hujan."
"Kotak makanan yang lucu,
pasti seorang gadis."
"Gadis yang baik, klo
dugaanku benar gadis ini sangat peduli pada anjing malang itu, dia tidak
memberikan makanan sembarangan, agak ceroboh sih memang menaruh kotak makanan
miliknya untuk minum anjing." Aku bergumam sendirian sambil membuang sisa
air yg ada di kotak makanan itu.
"Apa aku harus menunggu
gadis itu kembali?, pasti dia akan mengantarkan makanan untuk anjing ini
sebentar lagi."
Aku berdiri terdiam didepan
kuburan kecil itu. Selang beberapa menit aku mendengar langkah tergesa dari
kejauhan. Perlahan-lahan suara kaki yang lincah itu semakin melemah. Gadis yang
kutunggu sepertinya sudah datang.
"Kmu yg memberikan minumnya
ya?."
Dia hanya tertunduk melihat
kearah tumpukan tanah itu. Seperti tetesan embun diatas kristal yang indah. Air
matanya mengalir perlahan dipipi nya yang putih.
"Gadis yang tidak hanya baik
tapi juga menawan." Kataku dalam hati, tersihir dalam ilusi indah
didepanku.
"Aku harus manjaga jarak
dengan gadis yang baik ini kalau tidak dia akan dikucilkan sepertiku."
Keputusan jahat yg kuambil dalam
hati, hanya sepihak, tidak mempedulikan perasaannya.
Pagi yang tadinya ceria berubah
menjadi suram. Gadis yg malang, dari tas nya yang sedikit terbuka terihat kotak
kardus kecil dengan gambar anjing. Aku coba menenangkan hati nya yg sedih
dengan memberikannya bunga yang aku petik dari pohon terletak tidak jauh dari
peristirahan terakhir anjing kecil itu. Berharap dia bisa tenang dengan memberikan
perpisahan terakhir dengan anjing itu. Akan tetapi wajahnya yg manis itu masih
terlihat suram. Dan entah kenapa dadaku terasa sesak melihatnya seperti itu.
"Klo tidak keberatan mau
bareng momo-san?."
"Iyah."
Gadis itu tersenyum, seperti obat
yang mujarab dadaku kembali terasa lega. Seharusnya aku tidak terlalu dekat
dengan gadis ini. Tapi ada perasaan aneh yg menyihirku. Perasaan yg sebelumnya
tidak pernah kurasakan. Perasaan egois yang mungkin akan menyakiti gadis yang
baik ini.
Seperti mimpi yg indah kami
berjalan bersama. Momen yang suram beberapa menit yg lalu berubah. Pagi kembali
terasa hangat, walaupun rasa khawatir terasa menusuk langkahku. Tapi aku
menikmatinya, perasaan yang aneh dan tidak aku mengerti.
Dua gadis melambaikan tangan dari
gerbang sekolah. Menandakan aku harus berpisah dengannya, rasa egois itu pun
kulepaskan dengan susah payah.
"Duluan ya momo-san, aku mau
cuci tangan sebentar."
Aku berlari meninggalkannya,
terdengar suaranya memanggilku, tapi aku tidak mengurangi kecepatanku. Terus
berlari menuju gerbang, lalu menyusuri taman belakang sekolah. Mencoba mengatur
nafasku yang terengah-engah aku dikejutkan dengan sosok mungil yang tertidur
dibawah pohon. Tubuhnya sangat kecil untuk ukuran anak SMA bahkan untuk anak
SMP sekalipun. Sosok mungil yang terlihat rentan itu sesekali mengeluarkan
suara aneh dalam tidurnya yang lelap. Aku membuka blazer ku lalu menyelimuti
nya dengan sangat hati-hati.
"Sepertinya anak kelas satu
yang baru masuk, tidur dalam hari pertamanya, benar-benar menarik."
Takut aku menganggu tidurnya yang
nyenyak, aku lalu meniggalkannya sendirian. Aku kemudian menuju kantin, mencari
keran air untuk membersihkan tanganku yang masih kotor.
"Yo...tuan detektif
sepertinya kita sekelas lagi." Seorang gadis bule yang cantik mengahampiri
aku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan cukup keras.
"Ya nona elisabeth...
Kira-kira hal menarik apa ya yang menunggu kita di tahun yg baru ini?."
Dia satu-satunya orang yang tidak
takut berbicara denganku. Nona manis dari inggris, satu-satunya teman bagiku
disekolah ini.
"Sepertinya kasus pencurian
kunci jawaban dan misteri roti dikantin yang berubah asin tahun lalu
benar-benar menarik ya tuan detektif."
"Ya walaupun pelakunya
mengakuinya tapi entah kenapa aku tidak merasa puas."
"Wah wah detektif yg
sombong, kasus kecil tidak akan memuaskan rasa hausmu akan misteri ya."
Elisabeth tersenyum menyodorkan handuk kearahku.
"Bukan begitu maksudku nona
yg manis, mastermind dari kasus itu tidak pernah tertangkap, benar-benar
wanita yg licin ya"
"Hahaha.. darimana kamu tau mastermind
nya perempuan, tuan detektif?"
"Sebut saja intuisi, yang
pasti wanita itu cantik." Aku mengembalikan handuk miliknya. Terlihat
Elisabeth tersenyum sinis.
"Aku benar-benar tidak akan
pernah bosan disekolah ini."
Ekspresi wajahnya berubah
drastis, seperti seorang jendral yang menyatakan perang dia mengapai tanganku
lalu memaksaku bersalaman.
"Sepertinya sebentar lagi
waktunya masuk nona elisa, mau kekelas bareng?."
"Terimakasih tuan detektif,
tapi mengingat rumor yang terjadi diantara kita sebaiknya tidak tuan
detektif."
"Sayang sekali nona manis,
klo begitu aku duluan."
Elisa mengangguk, dengan pose
yang angkuh dia terlihat tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya dengan
pelan.
Aku duduk dengan tenang menunggu
bel berbunyi. Memandangi lapangan yang sepi aku terus melamun memikirkan apa
yang akan terjadi semester yg baru ini. Sesekali aku menoleh mengamati keadaan
kelas. Mengamati ekspresi dan tingkah laku teman sekelas menjadi obat
kebosananku. Aku menyadari momo yang berjalan menuju kearahku tapi agar tidak
terjadi rumor yang buruk tentangnya dengan kejam aku memalingkan wajahku.
"Bukan...bukan."
Momo tiba-tiba berteriak
menyadarkan aku dari lamunanku. Aku tersenyum memandanginya.
"Gadis yang baik, manis dan
menarik." Kataku dalam hati. Sesaat kemudian Bel berbunyi, aku merogoh
kantongku mencari smartphoneku untuk aku nonaktifkan. Tak mendapati apa yang
aku cari. Aku menepuk kepalaku.
"Benar-benar ceroboh, ada di
blazerku."
Chapter 3 Langkah Pertama
Suara ocehan guru yang samar
terdengar, melawan lantunan bisik-bisik ceria para murid. Sesekali aku melirik
kearah depan kelas, tidak menghiraukan guru yang membaca bukunya sendirian
dengan lantang. Tepat diatas whiteboard yang penuh coretan, sebuah jam dinding
menari pelan.
"Masih lima belas menit
lagi...Aku bosan."
Merapatkan pipiku di sebuah meja
yang dingin, aku tenggelam perlahan dalam rasa kantuk. Sebelum aku menyerah
menutup kedua mataku, sebuah benda melayang membentur kepalaku. Benda itu
memantul jatuh tepat didepan mataku. Sebuah gumpalan kecil kertas berwarna
pink. Kepalaku bangkit, Elisabeth tersenyum menunjuk-nunjuk kearah kertas
ditanganku. Mengerak-gerakan kedua bibirnya yang sepertinya menyuruhku untuk
membacanya. Momo yang sepertinya tertarik dengan tingkah Elisabeth yang duduk
disampingnya menatapku dengan heran. Akupun mulai terusik dengan kertas
ditanganku. Aku membuka lipatannya dengan hati-hati. Sebuah untaian kalimat
dengan tulisan rapi tersusun dengan baik.
Simpati yang tulus.
Akan mengundang suatu hal yang
ajaib.
Tatapan mata yang kaget saat
sang lidah api berwarna emas menghilang.
Ramainya suara kembang api
bercampur histeria para penonton.
Ingatkan kita tentang cahaya
bintang yang telah mati.
Aku terus berjuang dalam beton
yang dingin dengan kristal putih manis.
Perasaan aneh bergejolak, tanpa
aku sadari aku tersenyum. Rasa bosan yang daritadi menghantuiku berubah menjadi
perasaan yg membara.
"Apa ini Elisabeth?."
Aku berbisik kearah meja
disebelahku. Elisabeth hanya menunjuk jam ditangannya. Mengerti apa yg dia
maksud, aku kembali menfokuskan pandanganku kearah kertas yang sudah lecek itu.
"Satu-satunya yang mungkin
aku mengerti adalah kalimat ketiga. Hmm...Sang lidah api berwarna emas...monas?...Cuma
teori bukan fakta, Kejahilan Elisabeth mulai menuju level yg berbahaya?, tidak
dapat menyimpulkan, datanya terlalu minim, surat peringatan?... ya ampun ini
murni surat tantangan." Gumamku.
Guru yg berdiri tegak didepan
kelas sudah mulai melihat jam ditangannya, menandakan monolog panjangnya akan
segera usai. Guru yang walapun keliatan sudah tua itu mulai berjalan dengan
gagah menuju meja miliknya. Memeriksa buku absen kelas dimejanya dia lalu mulai
menulis sesuatu dibuku yg dibawanya. Tak lama kemudian suara yang cukup nyaring
berbunyi, bel yg menandakan istirahat pertama dihari yang terasa sangat lama
itu. Segera setelah murid memberikan salam hormat kepada sang guru yang masih
asik dengan tulisannya, aku bergegas menuju meja Elisabeth. Pertanyaan-pertanyaan
yg haus akan jawabannya sudah berada diujung tenggorokanku.
"Halo nona Elisabeth!."
"Ada apa tuan detektif ?
Kamu menyadari pesonaku lalu mau nembak Aku?." Elisabeth yg masih duduk,
menyeringai meledekku sambil cuek memasukan buku pelajarannya.
"Ne-ne-nembak?" Momo yg
duduk disampingnya ikut nimbrung kebingungan
"Hehehe... Kenapa momo san
kmu cemburu?."
"Engga enggak enggak. Aku
duluan ya." Momo beranjak dari bangkunya lalu pergi meninggalkan buku
pelajaran yang masih ada dimejanya.
"Wah wah sepertinya kamu
membuatnya salah paham tuan detektif. Sepertinya kmu harus minta maaf padanya
nanti."
"Kenapa? Aku kan ga
melakukan apa-apa. Kamu lah yg membuatnya jadi rumit."
"Sebaiknya kamu bercermin
tuan detektif wajahmu yang serius itu bisa membuat cewe yg polos seperti aku
ini salah paham." Elisabeth memandangku dengan genit lalu mengedipkan
sebelah matanya.
"Ayolah nona yg baik aku
cuma ingin tau apa maksud surat ini?." Kataku sambil menyodorkan kertas
pemberiannya.
"Oh oh jadi begitu... Surat
itu sedang heboh dimedia sosial loh!. BBM, LINE,FACEBOOK,TWITTER dan lainnya.
Tersebar begitu saja tanpa ada yang tau siapa pengirim pertamanya. Seperti
surat berantai, polisi pun sampai harus repot-repot memberikan keterangan pers
pada media elektronik."
"Elisabeth sebaiknya kamu
menghentikan permainan ini, sangat berbahaya Elisabeth."
Braaaak!... Tiba-tiba Elisabeth
memukul meja dengan tangan nya sekuat tenaga.
"Ada apa Satria Nusantara?
Jadi semua itu hanya omong kosong? Kamu sudah berjanji akan bermain denganku
sampai akhir?" Elisabeth membentakku dengan mata berkaca-kaca. Elisabeth
lalu bangkit dari tempat duduknya.
" Minggir!" Elisabeth
membentakku lagi.
"Maaf Elisabeth, bukan itu
maksudku. Aku akan menemanimu sampai kamu puas. Itu hanyalah nasihat dari
seorang teman. Kamu adalah satu-satunya temanku disekolah ini. Sangat berharga
dan akan kujaga sampai mati."
"Aku tidak mau... Kamu harus
hidup, terus dan terus bermain denganku. Itulah kutukanmu. Kamu adalah homunculus
milikku."
Aku tersenyum mengangguk.
" Te.. terima kasih."
Elisabeth tersenyum seperti anak kecil yang diberikan mainan kesukaannya. Karna
perasaan lega aku yang tadi menghalanginya, lalu memberikannya jalan. Elisabeth
kemudian berjalan melaluiku dengan lukisan senyum yang masih terlukis
diwajahnya. Parfum yang harum menyertai kepergiannya.
Tanpa kusadari murid-murid yang
masih berada didalam kelas memandangiku dengan curiga. Sambil berbisik-bisik,
mereka terus menusuk-nusuk dengan pandangan ingin taunya. Merasa tidak nyaman
aku lalu beranjak meninggalkan kelas.
Pohon yang rindang dengan bangku
beton yang dilapisi ubin. Aku melamun sendirian duduk menikmati siang yg damai
itu. Rambutku yang masih basah karna air wudhu menambah nikmatnya
sensasi sejuk disiang sunyi itu. Tempat favoritku, tapi entah kenapa tidak ada
yang menemukan tempat senyaman ini disekolah. Mungkin karna rumor adanya
penunggu dipohon besar ini atau siswa yang pernah kesurupan disini. Aku
tersenyum dengan lamunanku sendiri.
"Bismillahirahmanirahhim."
Aku kemudian meraih kantong pelastik disampingku.
"Piscok, tahu goreng, tempe
dan combro. Hari ini ibu kantinnya tidak lupa dengan pesananku. Tapi tunggu
dulu, ternyata cabe rawitnya ga ada. Ah ah.. lagi-lagi ibu kantin." Sambil
berceloteh sendirian aku lalu menggigit piscok yg masih hangat itu. Dengan
tenang aku menyantap semua makan siang pesananku. Setelah selesai memakan
semuanya,aku kemudian meraih air mineral disampingku.
"Alhamdulillah." Aku
lalu merapikan pelastik bekas gorengan tadi.
Breem..bremm...breemmmm... Suara
yang aneh menyusik siang yang damai milikku.
"Drone?. Drone itu membawa
sesuatu."
Benda asing itu kemudian mendarat
pelan tepat disampingku. Sebuah kain terikat dan dilipat dengan rapi.
"Brazerku!. " Aku kaget
lalu memeriksanya dengan teliti.
"Smartphoneku juga ada,
Alhamdulillah.. "
Drone itu kemudian terbang lagi,
menjauh dan terus menjauh. Aku yang penasaran kemudian mengikutinya dengan
diam-diam. Tak lama kemudian drone itu mendarat dengan perlahan. Tepat
disampingnya ada anak kecil sedang duduk bersembunyi dibelakang tempat duduk.
Dari belakangnya aku kemudian mengendap-ngendap mengamatinya.
"Yosh.. " Anak kecil
lalu berdiri itu menepuk-nepuk pipinya. Anak kecil itu memakai serangam yang
sama seperti milikku.
"Walaupun agak kebesaran
tapi sepertinya dia sekolah disini." Kataku dalam hati. Anak kecil itu
kemudian itu berbalik kearahku.
"Aaa...." Anak kecil
itu terpaku menyadari keberadaanku.
"Ohhh.. Anak yg ketiduran
tadi pagi ya?." Aku membalas tatapannya dengan senyum. Dia sama sekali
tidak menjawab, dia lalu mendekatiku dengan perlahan. Setelah dia cukup dekat
denganku kemudian dia hanya diam kaku.
"Halo? Makasih banyak ya!
Aku sangat tertolong." Aku berterima kasih karna telah repot-repot
mengantarkan blazerku.
Bruuk!.. Tiba-tiba tanpa alasan
yang jelas dia menendang kakiku dengan cukup keras, dia kemudian berlari dengan
kencang. Aku terduduk memegangi kakiku yang sakit. Tapi setelah beberapa meter
dia berlari meninggalkanku, dikarenakan rumput yang lumayan tinggi atau sepatunya
yang licin.
Brakkk!... Anak kecil itu
terjatuh.
"Awas jatuh!." Aku
meledeknya.
"Udah jatuh, Baka!."
Anak kecil itu berbalik dengan wajah yang seperti ingin menangis.
"Sepertinya aku keterlaluan.
Tapi dia bilang baka, sama seperti momo ya asalnya. Oh ya aku lupa
menjelaskan kesalahpahamannya dia." Aku bergumam.
Menyadari anak kecil itu sudah
hilang dari pandanganku. Aku kemudian berdiri membersihkan celanaku yg kotor
karna tanah.
Ding dong ding dong. Suara
speaker sekolah terdengar dari kejauhan.
"Kepada siswa bernama
Satria Nusantara dan Momoka Yoshie diharap segera menghadap keruang kepala
sekolah. Sekali lagi saya ulangi Kepada.."
"Aku padahal baru mau cari
si momo. Kenapa ya?, iuran bulanan udah, absen ku yg bolong-bolong mungkin?,
Tapi kan Momo anak yg cukup rajin, Oh ya mungkin masalah ekstrakulikuler. Tapi
Aku sering melihat Momo sibuk dengan anak basket dan mading." Aku kemudian
bergegas keruang kepala sekolah dengan pertanyaan-pertanyaan yg masih tidak
terjawab di kepalaku.
Tok tok tok... Aku mengetuk pintu
kepala sekolah.
"Ya masuk Satria."
Suara wanita yg merdu membalas ketukanku.
Terlihat momo yg sudah duduk
disofa didepan meja kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah sedang sibuk
dengan komputer dimejanya. Jarinya menari-nari dengan lincah diatas keyboard
miliknya. Sedangkan tangan yang lain secara perlahan mengerakan mouse dengan
luwes. Dia juga sesekali tersenyum sendiri melihat layar monitor.
"Silahkan duduk satria,
tunggu sebentar ya." Serunya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor.
Aku kemudian duduk disamping
Momo.
"Momo, ada apa kita
dipanggil?." Aku berbisik.
"Ngak tau, Aku juga baru
dateng." Jawab Momo.
Kita bertiga kemudian hanya
terdiam hanya ada suara ketikan dari keyboard milik kepala sekolah itu. Momo yg
duduk kaku hanya menundukan kepalanya. Aku kemudian mengeluarkan smartphone
milikku. Membuka Chat grup sekolah, hampir semuanya berisi posting tentang
surat misterius itu.
"Ada yg bilang api
dimonas bakal dicuri ya?."
"Ah paling-paling hanya
orang iseng atau pengalihan isu."
"Eh mungkin aja ada
atraksi baru dimonas.."
"Coba yu ulang tahun
jakarta kita kesana rame-rame.."
"Ada pertunjukan laser
nya juga lho"
"Ih norak dech"
"Band-band terkenal dan
pak gubernur juga katanya bakal Hadir."
"Aku mau liat kembang
api!"
Aku terus terpaku dengan layar
smartphoneku. Aku sedikit kaget melihat posting baru saja masuk.
"Gadis bule dan teroris
itu bertengkar lagi.!"
"Pasangan
serasi!!!!"
"Seperti film holywood
angota agent rahasia dan teroris yang jatuh cinta."
"Prikitiw!!!!!."
Aku hanya bisa menggelengkan
kepala, dengan cepatnya kabar itu tersebar.
"Kamu pernah ke monas
Satria?." Bisik momo
"Eh... Pernah tapi waktu
masih kecil." Jawabku dengan sedikit terkejut.
"Maaf aku ngintip, abisnya
kamu serius banget sih." Momo tersenyum.
"Maaf ya momo, yang tadi
dikelas aku buat Momo salah paham.. Aku juga cuekin Momo dikelas."
"Ga kok ga kok..Satria ga
salah kok..." Momo panik sendiri melambai-lambaikan tangannya.
"Ehem ehem.. Satria dan
Momo." Tanpa aku sadari kepala sekolah telah berdiri didepanku. Langsing
dan tinggi, tubuh yang ideal seperti model. Kulitnya yang eksotis serta
wajahnya yang selalu serius dengan kacamata diatas hidungnya yang mancung.
Menambah pesona kecantikannya.
"Kalian tau kenapa ibu
panggil disini ?." Kepala sekolah menatap kami dengan serius. Tatapan
menusuk seakan-akan kami sedang diinterograsi. Aku dan Momo hanya saling
menatap lalu mengeleng-gelengkan kepala.
"Hanya kalian berdua siswa
kelas 2 yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Satria sama sekali tidak
mengikuti kegiatan dari kelas satu. Sedangkan Momoka yang plin-plan hanya
ikut-ikutan teman-temannya, bingung memilih antara basket dan mading tanpa
mendaftarkan dirinya secara resmi. Sekarang pertanyaannya adalah kenapa?.
Dimulai dari Satria." Dengan wajah datar dan serius ibu kepala sekolah
menfokuskan tatapannya kepadaku.
"Kenapa ya aku juga binggung
bu.. Belum ada kegiatan yang menarik perhatianku." Jawabku dengan ragu.
"Momoka?" Kepala
sekolah mengalihkan pandangannya ke arah momo.
"Anu...Etoo..." Momo
hanya bingung tidak bisa menjawabnya.
"Kalian tidak mau naik
kelas?." Kepala sekolah memotong tidak sabar dengan jawaban momo.
"Tunggu dulu bu, bukanya itu
terlalu berlebihan. Memaksa siswa untuk mengikuti kegiatan yg tidak disukainya.
Bukanya salah satu motto sekolah kita itu hidup bebas dan bertanggung jawab.
" Seruku.
"Hmm Berlebihan ya.. Kalau
begitu begini saja. Ada ruangan kosong di samping ruang UKS. Gunakan itu,
buatlah kegiatan positif yang kamu berdua suka, ibu tunggu laporannya besok
lusa."
"Tapi bu..."
"Sekolah adalah rumahmu
yang kau buat sendiri. Itu juga motto sekolah kita kan?. Nah masalah
selesai, sekarang kalian boleh keluar, ibu masih sibuk dengan teman... maksud
ibu dengan pekerjaan ibu, jangan lupa lusa kalian harus mengantarkan
laporannya. Oh ya anggota minimal 5 orang dan satu guru pengawas." Kepala
sekolah kemudian beranjak menuju pintu dan membukakannya untuk kami.
Momo dan aku hanya bisa menerima
keputusannya lalu keluar dari ruangan itu.
"Kepala sekolah kita menarik
ya?" Aku melirik momo yang berjalan disampingku.
"Eh masa? Aku pikir dia
galak dan meyeramkan. Walaupun mungkin dia cukup giat dengan
pekerjaannya." Momo membalas dengan dahi yg mengkerut.
"Giat?... hahahaha... justru
sebalik nya Momo-san." Aku menjawab nya sambil menahan tawa.
"Sebaliknya gimana?."
Balas Momo penasaran
"Kamu tau apa yang dia
lakukan dengan komputernya sebelum berbicara dengan kita?"
"Dia sibuk dengan
tugas-tugas pekerjaannya kan?!"
"Hahaha... Bukan Momo, dia
sedang bermain game. Gerakan jarinya dengan dinamis menekan tombol F1, F2 dan
F3 menandakan dia sedang menggunakan skill dalam game tersebut dan secara
periodik dia tersenyum sendiri setelah dan sebelum mengetik beberapa huruf
dikeyboard kemungkinan itu karna dia sedang chat dengan teman guild atau party
nya."
"Wow Satria hebat seperti
detektif beneran!." Dengan wajah yang berbinar-binar Momo menghentikan
langkahnya menatapku dengan penuh kekaguman.
"Di...ditambah lagi dia
keceplosan bilang Nah masalah selesai, sekarang kalian boleh keluar, ibu
masih sibuk dengan teman... Kemungkinan yg dia maksud adalah teman guild
atau teman party nya." Aku melanjutkan teoriku sambil tersipu malu karna
wajah Momo yang terlalu dekat denganku. Aroma syampo miliknya tercium
samar-samar.
"Wah keren-keren... Nah klo
begitu Satria juga tau jawaban dari misteri surat ancaman pencurian yang sedang
ramai di grup chat sekolah kita?, yang tadi Satria serius baca itu
loh." Momo semakin dekat. Sekarang aku bahkan bisa merasakan nafas nya
diwajahku.
"Kalau itu Momo-san
sepertinya aku memerlukan investigasi yang lebih mendalam. Aku juga memerlukan
informasi yang lebih banyak lagi." Aku kembali berjalan, mengindahkan
tatapan penasaran momo. Aku hanya menfokuskan pandangan ku kedepan.
"Tapi aku ga nyangka ya
kepala sekolah kita seperti itu." Kata Momo sambil mengikuti langkahku
dari samping.
"Seperti itu gimana
Momo-san?. Bermain game bukanlah hal yg buruk momo san, mungkin waktunya yang
kurang tepat. Meskipun begitu kepala sekolah adalah orang yg baik. Dia bahkan
sangat peduli sama kita berdua, ya kan?"
"Iya yah." Momo
memngangguk sambil tersenyum.
Aku berjalan pelan menuju ruangan
yang dimaksud kepala sekolah. Tanpa aku sadari pandangan para murid tertuju
pada kita. Seperti biasa mereka berbisik-bisik sambil tertawa tertahan. Momo
hanya memandangku polos seakan tidak peduli dengan tatapan mereka.
"Momo-san kalau aku boleh
tanya, kenapa daritadi momo mengikuti aku." Tanyaku penasaran
"Eh kenapa?!. Kita kan mau
meriksa ruang klub yang dibilang kepala sekolah, iya kan?."
"Momo bisa bergabung dengan
anak basket atau mading kan?. Pasti mereka bisa menerima momo dengan senang
hati."
"Aku ga boleh gabung dengan
satria?" Momo menghentikan langkahnya, lalu tertunduk kecewa.
"Bukan begitu Momo yang
baik, Momo tau kan aku mempunyai image yang buruk disekolah ini. Semua orang
sepertinya takut denganku, ya itu wajar saja kakakku seorang teroris, bagi
mereka terlibat denganku bisa jadi berbahaya. Jadi klo Momo terlalu dekatku,
kemungkinan besar Momo bisa dikucilkan seperti aku."
"Kalo itu aku tidak peduli..
Jadi aku bisa ikutan ya?.. ya?.. ya? Satria boleh ya?." Momo memelas
dengan polos menarik-narik lengan seragamku.
"Iyah iyah." Aku
terkejut menganguk-angguk tak sanggup menghadapi tingkah Momo yang sedikit
manja.
"Gadis yg unik." Kataku
dalam hati. Tanpa sadar kami jadi saling memandang, kagum akan wajahnya yang
kecil dan imut membuatku terpaku. Jari-jarinya yang putih dan mungil terdiam
memegangi lengan bajuku. Aku kemudian melihatnya tersipu karna memandanginya
dengan serius. Secara perlahan dia melepaskan tangannya dari bajuku, Momo lalu
menghindari tatapanku sambil merapikan rambutnya yang hitam dan panjang. Akupun
yang sudah deg-degan daritadi mulai melanjutkan langkahku lagi. Tanpa aba-aba,
dengan langkah yang lincah Momo mengikuti berjalan disampingku. Sesekali aku
melirik wajah nya yang sedikit terdunduk. Dia kadang tersenyum sendiri, dan
seperti magnet yang kuat akupun tak kuasa ikut tersenyum melihatnya.
Entah beberapa lama kami
berjalan, kami akhirnya sampai diruangan itu. Momo yang sepertinya sudah tidak
sabar kemudian berlari kecil bergegas membuka pintu ruangan itu. Setelah
berhasil membuka pintu momo lalu melirik kedalamnya. Tapi beberapa detik
kemudian dia kembali menutup pintu lalu berlari kembali kearahku dengan
tergesa-gesa.
"Sa..tria.. Se..se...se..
sepertinya kita salah alamat deh." Kata Momo dengan nada yg
terputus-putus.
Aku yang penasaran kemudian
mengapai pintu ruangan tersebut. Dengan perlahan aku membukanya.
"Momo-san seharusnya ini
ruangan kosongkan?." Aku kemudian masuk melangkahkan kaki kedalam ruangan
itu.
"Iyah-iyah."
"Lalu kenapa ada dua pasang
sofa yang mewah, satu meja kaca antik, satu papan whiteboard, satu set komputer
beserta kursi yg nyaman, keyboard dan mouse wireless yang cukup mahal, ditambah
LCD 32 inci?. " Dengan wajah keheranan aku menyebutkan satu persatu benda
yg ada dihadapanku.
"Ga cuma itu satria.. kita
juga punya alat pembuat kopi dan AC baru. Apa kita harus tanya kepala sekolah
lagi?." Kata momo sambil memandangi langit-langit.
"Sepertinya tidak perlu
Momo-san dimeja ada surat pendaftaran klub. Didalam nya tertulis nama kita
berdua, sepertinya ini benar tempat kita." Aku membalas sambil
memperlihatkan kertas itu kearah momo.
"Gimana nih satria."
Momo ikutan memasang wajah keheranan.
"Sepertinya kita harus
tenang dulu Momo-san, sebentar lagi bel masuk, setelah pulang nanti kita ketemu
lagi disini ya, aku juga masih bingung. Aku ngerti sih kalau sekolah kita
mempunyai pendanaan yang cukup besar, tapi untuk klub baru yang bahkan tidak
mempunyai nama sepertinya ini terlalu berlebihan. Setuju Momo-san? kita ketemu
lagi disini setelah pulang sekolah ya?."
Momo menganngguk tersenyum, tidak
terlihat lagi wajah heran dalam dirinya. Tak lama kemudian bel pun berbunyi.
Dengan hati yang masih mengganjal, kami berdua pun sama-sama kembali kekelas.