Sabtu, 20 Agustus 2016

SHORT NOVEL SATRIA ( KASUS PENCURIAN LIDAH API MONAS ) PART 1



BOOK 1 (Kasus Pencurian Lidah Api Monas)
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu semua adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Instasi atau organisasi terkait merupakan karangan fiktif serta tidak mewakili instasi atau organisasi yang sebenarnya.

Chapter 1 Momoka Yoshie

Kerongkongan yg kering, kaki dan tanganku terikat mulai terasa perih, tikus berjalan mondar-mandir mencari makanan. Ruangan yg gelap, hanya ada satu lampu tepat diatas aku duduk terikat. Tidak ada rasa takut lagi, air mataku sudah kering. Hanya ada rasa lelah dan mengantuk.
"Papa....das...ke..te..."
Akupun mulai memejamkan mata menyerah pada keadaan ini.
Kreeek....Terdengar suara pintu yg terbuka. Perlahan Aku membuka kembali mataku. Cahaya masuk menyinari ruangan dingin dan senyap itu, diikuti suara langkah yang indah, seakan membuatku teringat indahnya konser musik clasic kado indah yang diberikan papah saat ulangtahunku.
"Daijoubu...Daijoubou..."
Seorang anak laki-laki dengan topi baseball berlari kearahku, Ia membelaiku dengan kasih sayang. Aku tersenyum lega tapi mataku yang bertambah berat membuatku menyerah akan rasa kantukku.
Kriiing.....Kriing....kriiing.
Aku meraba-raba meja disampingku, mencoba mematikan alarm itu. Walau hari ini adalah tahun ajaran baru tapi entah mengapa aku sama sekali tidak semangat. Setelah mengusap pelan mataku aku mulai bangun dari tempat tidurku, tertutup dan terbuka, mataku masih melawan rasa malasku. Berjalan seperti zombie aku melangkah menuju pintu kamarku, meraba-raba lagi mencari daun pintu dengan mata setengah tertutup, berhasil mengapainya aku kemudian membukanya lalu berjalan beberapa langkah.
"Boing." Aku merasa menabrak sesuatu yang lembut, seperti bantalan empuk, atau balon yg hangat. Aku tersenyum bersandar sebentar berharap bisa melanjutkan tidurku.
"Ohayou ojou-sama." Sapa bantalan empuk yg bisa bicara itu.
"Oha..." jawabku menatap bantalan itu.
"Mirip seperti melon atau semangka ya? Entahlah yang pasti cukup besar." Tanyaku dalam hati sambil menguap berusaha menyerang balik rasa kantukku.
"Ojou-sama sarapan sudah siap." Sapanya sambil mengusap mukaku dengan handuk hangat. Bantalan empuk yg ternyata adalah "melon" milik pelayanku.
"Sakura-san bagaimana bisa sebesar ini?. " Aku menunjuk dengan tatapan sinis kearah "melon" itu.
"Jangan bilang hanya karna minum susu, karna itu sama sekali tidak berhasil." Lanjutku sambil menatap dua "apel" kecil milikku.
Tanpa mengindahkan pertanyaanku sakura-san hanya tersenyum, terus mengusap mukaku dengan handuk hangat. Rasa iri ku akan "melon" miliknya itu pun mengalahkan rasa kantukku. Setelah merapikan rambut dengan tanganku aku kemudian berjalan melalui lorong yang luas menuju ruang makan. Tanpa berbicara Sakura-san setia mengikutiku dari belakang.
Sakura-san adalah pelayanku sejak kecil, bagiku dia sudah seperti ibuku sendiri. Saat aku sendirian dirumah yg besar, atau saat berpergian dinegara yang asing Sakura-san selalu disamping ku. Saat hari ulang tahun yang dingin dan sepi, Sakura-san selalu menghiburku. Hangat nya pelukannya disaat aku menangis adalah sesuatu yang sangat berharga. Senyuman nya yang manis dan hangat tidak tergantikan. Entah itu memang kasih seorang ibu atau kesetian seorang pelayan aku tidak pernah mengetahuinya, tapi aku sudah cukup puas walaupun mungkin sakura-san tidak memliki perasaan yg sama denganku. Wajar saja sejak aku lahir aku tidak pernah merasakan cinta dari seorang ibu.
Sesampainya di ruang makan, aku terkejut melihat seorang pria setengah baya duduk sambil memainkan tab nya. Seorang pria yang jarang ada di pagi seperti ini. Seharusnya aku senang melihatnya bisa sarapan bersamanya. Akan tetapi luka yang kuberikan padanya tak termaafkan. Bersamanya akan menambah luka hatinya. Seakan menusuk hati seseorang dengan dua pedang yang berbeda.
"Ohayou papah." sapaku sambil mengecup pipinya.
"Ohayou, tetap semangat sekarang sudah kelas 2." Jawab papah dengan kaku.
Aku mengangguk berusaha tersenyum. Aku meraih roti dan kemudian mengoleskan margarine diatasnya.
"Keberadaanku telah merenggut sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, wajar saja jika papah membenciku." Aku melirik ke arah papah sambil berbicara dalam hati.
Tanpa berbicara aku mengeser bangku kebelakang lalu beranjak pergi, roti yg sudah kuoleskan margarine sama sekali tidak ku makan. Papah hanya menunduk kearah piring sarapannya. Terdiam kaku seperti patung, tidak berbicara ataupun menoleh kearahku. Sakura-san melihat kearahnya, khawatir dengan hubungan kita yang tak pernah membaik.
"Haaah.." aku kembali kekamar menghela napas, membuka lemari mencari seragam sekolahku.
"Seharusnya ini kan pekerjaan Sakura-san."
"Ah seandainya saja aku bisa bertemu lagi dengannya, menyelamatkan aku sekali lagi dari hidupku yg suram ini."
"Sepertinya aku masih belum bisa melupakannya, seorang pahlawan dimasa kecilku."
Tanpa sadar aku menggenggam hairpin berbentuk kupu-kupu yang lucu kenangan indah dari masa lalu.
"Cethosia Myrina namanya ya, setidaknya itu yg dikatakan ojii-san."
"Oh tuhan setidaknya ijinkan lah aku untuk berterimakasih padanya."
"Walaupun samar, aku masih ingat sebagian besar kejadiannya."
Aku memasukan hairpin itu kedalam pelastik dan kemudian memasukannya kedalam tas sekolahku.
Samurai yang kau cari ada disini.
Isi surat yg kuterima bersamaan undangan untuk bersekolah di tempatku menimba ilmu sekarang.
"Sudah satu tahun lebih, sepertinya hanya orang iseng. Mempunyai harapan memang menyakitkan." Aku bergumam dalam hati.
"Ojou-sama air nya sudah siap."
"Eeeehhhh.....dari mana kau masuk??" Aku menengok kebelakang terkejut melihat datang nya suara misterius itu.
Salah satu keanehan dari pelayanku ini, dia bisa muncul tiba-tiba dari mana saja. Kadang aku berfikir klo Sakura-san ada lah keturunan ninja. Ditambah dia selalu tersenyum setelah mengagetkan aku, membuatku yakin dia melakukannya dengan sengaja. Dengan perasaan setengah jengkel akupun pergi menuju kamar mandi.
Tepat jam 6 pagi aku berangkat menuju sekolah, menyusuri teras rumahku, aku melirik sebentar mencari mobil papah yg ternyata sudah tidak ada.
"Ojou-sama hari ini tidak naik mobil?"
Tanya supirku yg berdiri disamping mobil hitam yg tampak selalu bersih dan mengkilap itu. Badan nya yg besar dan tinggi kadang membuat teman-temanku takut jika melihatnya membukakan pintu saat mengantarkan atau menjemputku aku kesekolah. Tingginya kira-kira 180 cm lebih ditambah luka seperti sayatan diwajahnya membuatku tidak heran dengan sikap teman-teman sekolahku. Dan klo tidak salah Sarahada-san juga mantan anggota yakuza seperti papah. Itu mungkin yg menambah aura seramnya. Tapi walaupun begitu Sarahada-san merupakan pria yg lembut , sesekali aku melihatnya memberi makan kucing liar di halaman belakang rumah, bahkan saat melihat burung gereja yang mati di taman rumahku Sarahada-san menangis tersiak-siak didepan ku. Dan saat itulah aku yakin yg dikatakan oijisan benar adanya.Jangan menilai buku hanya dari sampulnya saja.
"Ngak deh, jalan kaki lebih sehat, trus ada tempat yg mau Aku kunjungi juga."
"Mau dijemput pulangnya ojou-sama?"
"Nanti aku telpon ya.. sekarang tahun ajaran baru jadi harus mengikuti kegiatan klub, aku mau keliling-keliling cari klub yg tepat, soalnya ktanya klo ga mengikuti kegiatan klub sama sekali nanti ga bisa naik kelas."
"Klo begitu hati-hati ya ojou-sama."
"Lagian deket kan jarak kesekolah ga sampe 1 kilo, dah ya sarahada-san,Matta ne.."
"Iterasai ojou sama.."
Setelah melambaikan tangan, akupun mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah yg besar dan sepi itu. Aku juga punya alasan lain untuk tidak naik mobil hari ini, saat jogging kemarin sore aku menemukan anak anjing yang terlantar dipohon dekat taman komplek rumahku. Aku meraba tasku mencari makanan anjing yang aku siapkan dari semalam. Dengan perasaan gembira aku setengah berlari menuju pohon yg rindang itu.
Akan tetapi perasaan gembira yang seharusnya hangat itu berubah jadi rasa dingin, seakan membuatku menggigil. Gigiku sedikit bergetar. Aku tidak percaya apa yg aku lihat dengan kedua bola mataku.
Seorang cwo berdiri dengan blazer yang sama denganku. Tangannya yang kotor, dan kardus disampingnya yang seharusnya jadi rumah anjing kecil itu, berubah menjadi tidak berpenghuni. Air minum yang kemarin aku berikan pada anjing itu berubah kosong, dalam hati aku masih tidak percaya. Tumpukan tanah didepan cwo itu menguatkan semuanya, pohon yang rindang itu menjadi persemayaman terakhir anjing kecil itu.
Setelah mengusap matanya cwo itu berbalik, tersenyum lalu berkata.
"Kmu yg memberikan minum nya ya?."
Aku hanya menganguk, sedikit tersipu aku mengalihkan pandanganku kearah tumpukan tanah itu. Aku mengenal cwo itu, kita pernah sekelas, walaupun jarang masuk dia cukup terkenal disekolah, dia selalu mendapatkan peringkat lima besar dalam setiap ujian, tapi kupikir yg membuatnya terkenal bukan itu, rumor yang mengatakan bahwa keluarganya teroris mungkin yang membuatnya jadi pusat pembicaraan. Aku hampir tak pernah melihat orang lain menyapanya selama sekelas dengannya tahun lalu. Cukup jahat memang, dan aku mengakuinya aku bagian dari kejahatan itu.
"Yoshie-san?."
"Eh..iya kenapa?."
Aku kaget dia mengingat namaku, Dia menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna putih dengan motif bunga mawar merah. Tanpa aku sadari tetesan airmata mengucur dipipiku.
"Aku pikir orang islam tidak menyukai anjing." Kataku sambil mengelap airmataku.
"Sepertinya Yoshie-san salah paham, air liur anjing memanglah najis dalam islam, tapi islam mengajarkan untuk menyayangi dan menghormati semua mahluk hidup, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan."
Aku menatapnya dengan serius. Mungkin dia seperti Sarahada-san yang hatinya baik. Walaupun rambutnya kriting dan seperti acak-acakan, pinggiran rambutnya dicukur rapi. Tinginya kira-kira 175 cm, kulitnya coklat dan bersih, senyumnya yang manis membuatku canggung hanya berduan dengannya.
"Momo panggil saja momo." Kalimat itu terucap begitu saja tanpa aku menyadarinya.
"Oh ya momo-san kita sekelas ya tahun lalu, dan sepertinya akan sekelas lagi." Aku hanya mengangguk.
"Namaku Satria in case momo lupa."
"Aku ga lupa, tapi darimana kmu tau kita bakalan sekelas lagi?." Menggelengkan kepala ku dengan cukup keras, aku berbohong seakan-akan mengingat namanya.
"Cuma feeling"
Dia tersenyum lagi, aku sama sekali tidak tau maksudnya. Apa dia mencoba menggoda ku?. Jika benar dia cukup berhasil, jantungku semakin berdetak dengan kencang. Dadaku terasa sakit berharap momen ini segera berakhir.
"Kenapa anjing kecil ini meninggal, padahal kemarin sepertinya dia cukup sehat." Tanyaku dengan canggung.
"Dasar bodoh!, aku justru memperlama momen mendebarkan ini." Gerutuku dalam hati.
"Hmm... Aku ga tau pasti, tapi kemungkinan terbesarnya adalah kehangatan seorang ibu."
"Kehangatan seorang ibu?."
"Yah hangatnya dekapan seorang ibu sangat berarti bagi bayi sepertinya."
Aku memeluk erat tas yg kubawa, membayangkan tas itu adalah anjing kecil yang malang itu.
"Anu.. maaf apa rumor itu benar?."
"Dasar bodoh, dasar bodoh dasar bodoh apa yg kukakatakan." Aku panik luar biasa menyadari kalimat yg aku ucapkan.
"Klo keluargaku teroris?."
Aku menganguk dengan perasaan bersalah.
"Itu fakta, kakakku memang seorang teroris, Desert Witch wanita paling dicari diseluruh dunia, tapi beberapa bulan lalu dia dikabarkan meninggal."
Dia tersenyum, tapi senyumannya berbeda dengan yg sebelumnya, senyuman dipaksakan, seakan menelan obat yang pahit dalam kesedihannya.
"Maaf maaf maaf maaf....Aku tidak bermaksud." Aku panik merasa bersalah menundukan kepalaku berulang-ulang.
"Hahaha...ga papa kok...ini melegakan, sesekali bisa berbicara dengan teman sekelas."
Senyuman manis itu terlukis lagi diwajahnya. Tanpa sadar aku ikut tersenyum.
"Ini momo-san."
"Eh apa ini."
Aku panik bukan kepalang, dia tiba-tiba mendekat memberikan bunga merah kecil kepadaku. Tanpa sadar aku meraihnya. Medekapnya erat, seakan-akan tak mau kehilangannya. Tapi betapa malunya aku setelah tau bunga itu bukan untukku. Dia menyebarkan bunga itu ketumpukan tanah itu, persemayaman anjing kecil yg malang. Menoleh kearahku dia tersenyum seakan menyuruhku melakukan hal yg sama. Aku yg sudah ke Ge-eran segera beranjak dari tempatku berdiri, dengan perlahan aku menaburkan bunga itu, aku berdoa sebentar berharap anjing kecil yg malang mendapatkan hal yg lebih baik. Aku berdiri menganguk kearah cwo itu menandakan bahwa aku sudah selesai menyucapkan perpisahan dengan anjing kecil itu.
"Klo kmu ga keberatan, Mau bareng momo-san?."
"Iyah."
Aku menjawab dengan nada pelan.
Aku berjalan selangkah dibelakang nya, tanpa berbicara apapun. Dia berusaha melambatkan langkah nya bersusah payah menyesuaikannya dengan langkahku, sesekali menoleh kebelakang seakan mengkhawatirkan aku, jikalau aku tertinggal. Waktu seakan-akan berjalan lebih lambat, aku bisa merasakan sentuhan halus angin yang berhembus dengan pelan, jarak kesekolah yang hanya berjarak 100 meter seakan bertambah jauh. Aneh memang beberapa menit yang lalu aku berharap agar momen ini cepat selesai. Jantungku yg tadinya berdegup kencang, mulai melambat, perasaan nyaman, aman berada didekatnya seperti menyihir perjalanan yang singkat itu. Tanpa sepatah kata pun, hanya ada suara indah dari langkah sepatu anak laki-laki dan perempuan, seperti melodi kehidupan dipagi yg hangat.
Tanpa sadar gerbang sekolah telah terlihat dari kejauhan, dua orang siswi melambai kearahku.
"Duluan ya momo, aku mau cuci tangan sebentar."
"Tunggu satria..."
Aku berniat mengembalikan sapu tangan miliknya. Tapi apa daya tanpa menoleh dia berlari meningalkan aku.
"Momoka-chaan."
Seorang siswi memelukku dengan erat, lalu menempelkan pipinya kepipiku, seperti seekor kucing yg manja.
"Apasih Fani...pagi-pagi udah heboh banget." Balasku dengan nada bercanda
Siswa yg satunya mengelus kepalaku. Seperti mengangap aku hewan periharaannnya.
"Kita ga sekelas lagi..Hiks hiks."
"Massa sih?, tapi bagus deh jd ga berisik..hahaha."
"Momo jaat, tapi aku sekelas sama anggie, yay yatta nee."
"Ahh Curaaaaang."
Anggie hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan kita yg aneh. Mereka berdua adalah teman sekelasku saat aku kelas 1, Fani cwe yg energik dan mudah bergaul, sedangkan anggie adalah cwe yg pendiam dan pemalu. Dan entah kenapa kita bertiga bisa menjadi sangat dekat, dan dikenal sebagai tiga combo siswi dikelas yg sangat berisik.
"Fani pasti kesepian hiks hiks."
"Tenang aja aku akan selalu ada bersama kalian, tepatnya disini, dibongkahan es yg menenggelamkan titanic ini." Sambil tersenyum aku menunjuk kearah dada nya yg cukup besar untuk ukuran siswi SMA.
"Kyaa momo echii!."
Anggie tertawa pelan melihat ulah jenaka fani dan aku.
Setelah mengobrol tidak karuan selama beberapa menit, kami berpisah menuju kelas masing-masing. Menaiki tangga dengan perlahan, aku menyusuri satu persatu kelas. Disetiap pintu tertempel kertas berisi denah bangku beserta nama-nama muridnya. Setelah menemukan kelas baruku, sedikit kaget aku melihat satria yg duduk dibelakang memandangi lapangan sekolah melalui jendela. Aku melihat kertas dimeja guru untuk memeriksa lagi dimana tempat dudukku. Aku berjalan menuju meja yg paling belakang. Satria melirik kearahku seakan menyadari keberadaanku. Saat aku berusaha menyapanya dia justru memalingkan wajahnya.
"Haaah...sombong sekali."
Gerutuku dalam hati. Sedikit kecewa akupun duduk tepat disampingnya. Hanya ada satu bangku kosong yg belum terisi yg memisahkan Aku dan Satria.
Tanpa sebab yg aku ketahui, aku menyadari pandangan sinis cwe berkerudung dipojok meja terdepan. Aku menunjuk diriku mencoba membalas tatapannya yg tajam, tapi entah kenapa justru dia memalingkan wajahnya yg angkuh itu.
"Sepertinya hari ini semua orang membenciku."
"Massa sih?."
"Eh."
Aku kaget melihat ada gadis yg duduk disampingku menjawab suara hatiku yg tanpa sengaja keluar dari bibirku. Sama seperti sakura-san hawa keberadaan nya hampir tidak ada. Rambutnya pirang, bibirnya yg berwarna merah muda, bola matanya berwarna hijau, bulat dan besar, membuatku terkagum akan keindahan wajahnya.
"Klo aku cwo mungkin langsung jatuh hati."
Kataku dalam hati seakan mengakui kekalahan.
"Namaku Elisabeth, salam kenal ya."
"Aku Momoka Yoshie, panggil saja Momo, salam kenal juga."
Jawabku dengan canggung.
"Siapa tuh? Pacar kmu ya?."
Gadis cantik itu tersenyum sambil melirik kearah Satria.
"Eh bukan bukan!!."
Aku panik bangkit dari tempat duduk ku, tanpa sadar seluruh kelas mendengar suaraku yg cukup keras itu.
Spontan semua tertawa kecil, menatapku. Aku yang malu berat duduk kembali, menghela nafasku, cwe berkerudung itu pun kembali menatapku dengan tajam namun setelah melihat satria yg ikut tersenyum, entah mengapa itu cukup menenangkanku.
"Pffftttt...pffttt...gadis yg cukup menarik...lucu bgt sih kmu...pffft..."
Gadis berambut pirang itu bersusah payah menahan tawanya. Tak lama kemudian bel berbunyi, seluruh murid dikelas bergegas menuju tempat duduknya.




Chapter 2 Sebab Akibat


Apa tahun ini akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Mencari jalan yg sama, mencari alasan yg sama. Jawaban yg tidak pernah aku temukan, hikmah dalam sebuah tragedi. Ujian atau sebuah hukuman?. Yang kudapat hanya jalan buntu. Berusaha meraih sesuatu yg hilang, jasad yg tidak pernah ditemukan. Menjadi rangkaian benang kusut dalam hidupku.
"Bzzz...Bzzz...Bzzz."
Smartphoneku bergetar, Aku terbangun dari lamunan pagiku, lalu merogoh saku ku.
"Ya ada apa paman."
Aku menjawab dengan nada pelan.
"Yo satria, sepertinya kita dalam masalah besar, informasinya seharusnya solid dan sangat dipercaya tapi entah kenapa kita sama sekali tidak menemukannya."
"Jelaskan Fakta-fakta nya dengan detail paman."
"2 bulan yg lalu interpol mendapatkan informasi 4 peti kemas berisi heroin murni akan diselundupkan melalui batam, kita sudah membongkarnya dengan teliti tapi hanya buah-buahan yang sudah busuk didalamnya."
"Hmm... Apa peti kemasnya terlihat baru atau mempunyai warna yg tidak lazim paman?"
"Yah benar sekali! Luar biasa kmu satria! warna peti kemasnya seperti baru."
"Klo duganku benar jika paman menggunakan anjing pelacak, anjingnya pun akan bertingkah aneh."
"Ya itu jg benar, tapi itu hal yang wajar kan karna peti kemasnya berisi buah-buahan busuk."
Aku tersenyum, seakan merayakan kemenanganku.
"Informasi itu benar paman, heroine nya ada didalam peti kemasnya."
"Hahahahaha... jangan bercanda kamu Satria kita sudah memeriksanya, tidak ada didalam."
"Bukan begitu paman, periksalah peti kemas nya lagi, heroinnya diselendupkan melalui celah-celah besi peti kemas, cat yg baru itu sepertinya dibuat khusus untuk mengelabui penciuman anjing, dinding peti kemasnya akan terlihat lebih tebal klo diperhatikan dengan baik. Heroinnya sudah menjadi bagian dari peti kemasnya."
"Benar-benar tidak terduga! Kita akan segera memeriksa nya. Nanti akan paman hubungi lagi,terima kasih Satria."
Aku memasukan hanphone ku kesaku blazerku, seraya melanjutkan sarapanku yg terhenti. Mencoba mengapai roti didepanku, aku menyadari ada kertas yang tertindih saus tomat yg berada disampingnya.
Maaf aku tidak pulang malam ini. Ada uang dilemari kmu bisa pesan pizza atau makan diluar.
"Tulisan nya agak berantakan tidak seperti biasanya, tidak ada piring bekas sarapan dimeja, kemungkinan ada kasus yg mendadak."
Aku kemudian meremas kertas itu ditanganku, lalu mencoba melemparnya ketempat sampah dari kejauhan.
"Nice!!" Aku kegirangan bermain sendirian dirumah yg sepi ini.
Kedua orang tuaku meninggal sejak kecil, sebelumnya aku tinggal dipanti asuhan bersama kakakku. Setelah kakak ku menghilang, seorang polisi yang merupakan teman ayahku mengasuhku. Polisi veteran yang baik dan sangat mencintai pekerjaannya, demi sebuah kasus bahkan dia bisa tidak pulang selama beberapa bulan.
"Sepertinya sudah saatnya berangkat."
Setelah selesai merapikan meja makan bekas sarapanku, aku kemudian meraih tas diatas meja. Berjalan menuju pintu antik yang keliatan cukup kekar dan kuat. Akan tetapi walaupun kelihatannya begitu, karna sudah tua aku sering kesulitan saat mengunci atau membukanya. Aku memeriksa handphone ku lagi, satu pesan masuk terlihat.
Terima kasih satria, Kmu benar sekali, kami menemukannya xD :) :-*.
Aku menahan tawa melihat salah seorang pimpinan interpol yang disegani anak buahnya mengunakan emote icon dalam pesan singkatnya.
Hari yg cerah, walaupun sang mentari masing setengah bersembunyi, perasaan hangat merasuk keseluruh tubuh. Aku lalu meraih sang mentari dengan tanganku, mencoba menggenggamnya berharap mendapatkan sensasi hangat yg berbeda.
Berjalan menyusuri taman, aku terhenti melihat pasangan kakek dan nenek sedang berolahraga. Sesekali sang kake meledek nenek itu yang kesulitan mengikuti gerakan lincah sang kake. Aku bertanya dalam hati apa saja yg mereka lalui dalam hidupnya. Kebaikan dan keburukan dalam setiap langkah kecilnya tetap membuatnya bersatu. Kekagumanku pada mereka mengalahkan indahnya bunga yang sedang mekar disekitarnya. Kakek yg menyadari tatapan anehku, tersenyum hangat.
Setelah membalas senyuman hangat sang kake, akupun melanjutkan langkahku sambil menikmati udara sejuk yang sudah langka diibukota ini. Dengan langkah yang pelan aku mengamati dengan tenang kejadian-kejadian unik dipagi hari. Seorang anak kecil yg mengantar koran, kucing yang tidur di bahu jalan, atau burung-burung kecil yg berkicau riang.
Pandanganku tiba-tiba terusik pada kardus yang ada dibawah sebuah pohon besar. Aku perlahan mendekatinya.
"Anjing yg malang... Maltase atau Shih tsu?."
Aku membuka tasku, mencari handuk dan pengaris. Menaruh anjing yang malang itu dengan perlahan itu diatas handuk. Dengan penggaris dan bantuan tangan, aku menggali tanah disamping kardus itu. Selesai menggali aku melipat handuk itu sampai menutupi tubuh anjing kecil itu. Kemudian sedikit demi sedikit aku menimbunnya dengan tanah.
Saat aku bangkit, aku menyadari ada kotak makanan disamping kardusnya.
"Hmm...Tidak ada bekas makanan, Hanya ada sedikit air di atasnya... Semalam juga tidak hujan."
"Kotak makanan yang lucu, pasti seorang gadis."
"Gadis yang baik, klo dugaanku benar gadis ini sangat peduli pada anjing malang itu, dia tidak memberikan makanan sembarangan, agak ceroboh sih memang menaruh kotak makanan miliknya untuk minum anjing." Aku bergumam sendirian sambil membuang sisa air yg ada di kotak makanan itu.
"Apa aku harus menunggu gadis itu kembali?, pasti dia akan mengantarkan makanan untuk anjing ini sebentar lagi."
Aku berdiri terdiam didepan kuburan kecil itu. Selang beberapa menit aku mendengar langkah tergesa dari kejauhan. Perlahan-lahan suara kaki yang lincah itu semakin melemah. Gadis yang kutunggu sepertinya sudah datang.
"Kmu yg memberikan minumnya ya?."
Dia hanya tertunduk melihat kearah tumpukan tanah itu. Seperti tetesan embun diatas kristal yang indah. Air matanya mengalir perlahan dipipi nya yang putih.
"Gadis yang tidak hanya baik tapi juga menawan." Kataku dalam hati, tersihir dalam ilusi indah didepanku.
"Aku harus manjaga jarak dengan gadis yang baik ini kalau tidak dia akan dikucilkan sepertiku."
Keputusan jahat yg kuambil dalam hati, hanya sepihak, tidak mempedulikan perasaannya.
Pagi yang tadinya ceria berubah menjadi suram. Gadis yg malang, dari tas nya yang sedikit terbuka terihat kotak kardus kecil dengan gambar anjing. Aku coba menenangkan hati nya yg sedih dengan memberikannya bunga yang aku petik dari pohon terletak tidak jauh dari peristirahan terakhir anjing kecil itu. Berharap dia bisa tenang dengan memberikan perpisahan terakhir dengan anjing itu. Akan tetapi wajahnya yg manis itu masih terlihat suram. Dan entah kenapa dadaku terasa sesak melihatnya seperti itu.
"Klo tidak keberatan mau bareng momo-san?."
"Iyah."
Gadis itu tersenyum, seperti obat yang mujarab dadaku kembali terasa lega. Seharusnya aku tidak terlalu dekat dengan gadis ini. Tapi ada perasaan aneh yg menyihirku. Perasaan yg sebelumnya tidak pernah kurasakan. Perasaan egois yang mungkin akan menyakiti gadis yang baik ini.
Seperti mimpi yg indah kami berjalan bersama. Momen yang suram beberapa menit yg lalu berubah. Pagi kembali terasa hangat, walaupun rasa khawatir terasa menusuk langkahku. Tapi aku menikmatinya, perasaan yang aneh dan tidak aku mengerti.
Dua gadis melambaikan tangan dari gerbang sekolah. Menandakan aku harus berpisah dengannya, rasa egois itu pun kulepaskan dengan susah payah.
"Duluan ya momo-san, aku mau cuci tangan sebentar."
Aku berlari meninggalkannya, terdengar suaranya memanggilku, tapi aku tidak mengurangi kecepatanku. Terus berlari menuju gerbang, lalu menyusuri taman belakang sekolah. Mencoba mengatur nafasku yang terengah-engah aku dikejutkan dengan sosok mungil yang tertidur dibawah pohon. Tubuhnya sangat kecil untuk ukuran anak SMA bahkan untuk anak SMP sekalipun. Sosok mungil yang terlihat rentan itu sesekali mengeluarkan suara aneh dalam tidurnya yang lelap. Aku membuka blazer ku lalu menyelimuti nya dengan sangat hati-hati.
"Sepertinya anak kelas satu yang baru masuk, tidur dalam hari pertamanya, benar-benar menarik."
Takut aku menganggu tidurnya yang nyenyak, aku lalu meniggalkannya sendirian. Aku kemudian menuju kantin, mencari keran air untuk membersihkan tanganku yang masih kotor.
"Yo...tuan detektif sepertinya kita sekelas lagi." Seorang gadis bule yang cantik mengahampiri aku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan cukup keras.
"Ya nona elisabeth... Kira-kira hal menarik apa ya yang menunggu kita di tahun yg baru ini?."
Dia satu-satunya orang yang tidak takut berbicara denganku. Nona manis dari inggris, satu-satunya teman bagiku disekolah ini.
"Sepertinya kasus pencurian kunci jawaban dan misteri roti dikantin yang berubah asin tahun lalu benar-benar menarik ya tuan detektif."
"Ya walaupun pelakunya mengakuinya tapi entah kenapa aku tidak merasa puas."
"Wah wah detektif yg sombong, kasus kecil tidak akan memuaskan rasa hausmu akan misteri ya." Elisabeth tersenyum menyodorkan handuk kearahku.
"Bukan begitu maksudku nona yg manis, mastermind dari kasus itu tidak pernah tertangkap, benar-benar wanita yg licin ya"
"Hahaha.. darimana kamu tau mastermind nya perempuan, tuan detektif?"
"Sebut saja intuisi, yang pasti wanita itu cantik." Aku mengembalikan handuk miliknya. Terlihat Elisabeth tersenyum sinis.
"Aku benar-benar tidak akan pernah bosan disekolah ini."
Ekspresi wajahnya berubah drastis, seperti seorang jendral yang menyatakan perang dia mengapai tanganku lalu memaksaku bersalaman.
"Sepertinya sebentar lagi waktunya masuk nona elisa, mau kekelas bareng?."
"Terimakasih tuan detektif, tapi mengingat rumor yang terjadi diantara kita sebaiknya tidak tuan detektif."
"Sayang sekali nona manis, klo begitu aku duluan."
Elisa mengangguk, dengan pose yang angkuh dia terlihat tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya dengan pelan.
Aku duduk dengan tenang menunggu bel berbunyi. Memandangi lapangan yang sepi aku terus melamun memikirkan apa yang akan terjadi semester yg baru ini. Sesekali aku menoleh mengamati keadaan kelas. Mengamati ekspresi dan tingkah laku teman sekelas menjadi obat kebosananku. Aku menyadari momo yang berjalan menuju kearahku tapi agar tidak terjadi rumor yang buruk tentangnya dengan kejam aku memalingkan wajahku.
"Bukan...bukan."
Momo tiba-tiba berteriak menyadarkan aku dari lamunanku. Aku tersenyum memandanginya.
"Gadis yang baik, manis dan menarik." Kataku dalam hati. Sesaat kemudian Bel berbunyi, aku merogoh kantongku mencari smartphoneku untuk aku nonaktifkan. Tak mendapati apa yang aku cari. Aku menepuk kepalaku.
"Benar-benar ceroboh, ada di blazerku."



Chapter 3 Langkah Pertama

Suara ocehan guru yang samar terdengar, melawan lantunan bisik-bisik ceria para murid. Sesekali aku melirik kearah depan kelas, tidak menghiraukan guru yang membaca bukunya sendirian dengan lantang. Tepat diatas whiteboard yang penuh coretan, sebuah jam dinding menari pelan.
"Masih lima belas menit lagi...Aku bosan."
Merapatkan pipiku di sebuah meja yang dingin, aku tenggelam perlahan dalam rasa kantuk. Sebelum aku menyerah menutup kedua mataku, sebuah benda melayang membentur kepalaku. Benda itu memantul jatuh tepat didepan mataku. Sebuah gumpalan kecil kertas berwarna pink. Kepalaku bangkit, Elisabeth tersenyum menunjuk-nunjuk kearah kertas ditanganku. Mengerak-gerakan kedua bibirnya yang sepertinya menyuruhku untuk membacanya. Momo yang sepertinya tertarik dengan tingkah Elisabeth yang duduk disampingnya menatapku dengan heran. Akupun mulai terusik dengan kertas ditanganku. Aku membuka lipatannya dengan hati-hati. Sebuah untaian kalimat dengan tulisan rapi tersusun dengan baik.
Simpati yang tulus.
Akan mengundang suatu hal yang ajaib.
Tatapan mata yang kaget saat sang lidah api berwarna emas menghilang.
Ramainya suara kembang api bercampur histeria para penonton.
Ingatkan kita tentang cahaya bintang yang telah mati.
Aku terus berjuang dalam beton yang dingin dengan kristal putih manis.
Perasaan aneh bergejolak, tanpa aku sadari aku tersenyum. Rasa bosan yang daritadi menghantuiku berubah menjadi perasaan yg membara.
"Apa ini Elisabeth?."
Aku berbisik kearah meja disebelahku. Elisabeth hanya menunjuk jam ditangannya. Mengerti apa yg dia maksud, aku kembali menfokuskan pandanganku kearah kertas yang sudah lecek itu.
"Satu-satunya yang mungkin aku mengerti adalah kalimat ketiga. Hmm...Sang lidah api berwarna emas...monas?...Cuma teori bukan fakta, Kejahilan Elisabeth mulai menuju level yg berbahaya?, tidak dapat menyimpulkan, datanya terlalu minim, surat peringatan?... ya ampun ini murni surat tantangan." Gumamku.
Guru yg berdiri tegak didepan kelas sudah mulai melihat jam ditangannya, menandakan monolog panjangnya akan segera usai. Guru yang walapun keliatan sudah tua itu mulai berjalan dengan gagah menuju meja miliknya. Memeriksa buku absen kelas dimejanya dia lalu mulai menulis sesuatu dibuku yg dibawanya. Tak lama kemudian suara yang cukup nyaring berbunyi, bel yg menandakan istirahat pertama dihari yang terasa sangat lama itu. Segera setelah murid memberikan salam hormat kepada sang guru yang masih asik dengan tulisannya, aku bergegas menuju meja Elisabeth. Pertanyaan-pertanyaan yg haus akan jawabannya sudah berada diujung tenggorokanku.
"Halo nona Elisabeth!."
"Ada apa tuan detektif ? Kamu menyadari pesonaku lalu mau nembak Aku?." Elisabeth yg masih duduk, menyeringai meledekku sambil cuek memasukan buku pelajarannya.
"Ne-ne-nembak?" Momo yg duduk disampingnya ikut nimbrung kebingungan
"Hehehe... Kenapa momo san kmu cemburu?."
"Engga enggak enggak. Aku duluan ya." Momo beranjak dari bangkunya lalu pergi meninggalkan buku pelajaran yang masih ada dimejanya.
"Wah wah sepertinya kamu membuatnya salah paham tuan detektif. Sepertinya kmu harus minta maaf padanya nanti."
"Kenapa? Aku kan ga melakukan apa-apa. Kamu lah yg membuatnya jadi rumit."
"Sebaiknya kamu bercermin tuan detektif wajahmu yang serius itu bisa membuat cewe yg polos seperti aku ini salah paham." Elisabeth memandangku dengan genit lalu mengedipkan sebelah matanya.
"Ayolah nona yg baik aku cuma ingin tau apa maksud surat ini?." Kataku sambil menyodorkan kertas pemberiannya.
"Oh oh jadi begitu... Surat itu sedang heboh dimedia sosial loh!. BBM, LINE,FACEBOOK,TWITTER dan lainnya. Tersebar begitu saja tanpa ada yang tau siapa pengirim pertamanya. Seperti surat berantai, polisi pun sampai harus repot-repot memberikan keterangan pers pada media elektronik."
"Elisabeth sebaiknya kamu menghentikan permainan ini, sangat berbahaya Elisabeth."
Braaaak!... Tiba-tiba Elisabeth memukul meja dengan tangan nya sekuat tenaga.
"Ada apa Satria Nusantara? Jadi semua itu hanya omong kosong? Kamu sudah berjanji akan bermain denganku sampai akhir?" Elisabeth membentakku dengan mata berkaca-kaca. Elisabeth lalu bangkit dari tempat duduknya.
" Minggir!" Elisabeth membentakku lagi.
"Maaf Elisabeth, bukan itu maksudku. Aku akan menemanimu sampai kamu puas. Itu hanyalah nasihat dari seorang teman. Kamu adalah satu-satunya temanku disekolah ini. Sangat berharga dan akan kujaga sampai mati."
"Aku tidak mau... Kamu harus hidup, terus dan terus bermain denganku. Itulah kutukanmu. Kamu adalah homunculus milikku."
Aku tersenyum mengangguk.
" Te.. terima kasih." Elisabeth tersenyum seperti anak kecil yang diberikan mainan kesukaannya. Karna perasaan lega aku yang tadi menghalanginya, lalu memberikannya jalan. Elisabeth kemudian berjalan melaluiku dengan lukisan senyum yang masih terlukis diwajahnya. Parfum yang harum menyertai kepergiannya.
Tanpa kusadari murid-murid yang masih berada didalam kelas memandangiku dengan curiga. Sambil berbisik-bisik, mereka terus menusuk-nusuk dengan pandangan ingin taunya. Merasa tidak nyaman aku lalu beranjak meninggalkan kelas.
Pohon yang rindang dengan bangku beton yang dilapisi ubin. Aku melamun sendirian duduk menikmati siang yg damai itu. Rambutku yang masih basah karna air wudhu menambah nikmatnya sensasi sejuk disiang sunyi itu. Tempat favoritku, tapi entah kenapa tidak ada yang menemukan tempat senyaman ini disekolah. Mungkin karna rumor adanya penunggu dipohon besar ini atau siswa yang pernah kesurupan disini. Aku tersenyum dengan lamunanku sendiri.
"Bismillahirahmanirahhim." Aku kemudian meraih kantong pelastik disampingku.
"Piscok, tahu goreng, tempe dan combro. Hari ini ibu kantinnya tidak lupa dengan pesananku. Tapi tunggu dulu, ternyata cabe rawitnya ga ada. Ah ah.. lagi-lagi ibu kantin." Sambil berceloteh sendirian aku lalu menggigit piscok yg masih hangat itu. Dengan tenang aku menyantap semua makan siang pesananku. Setelah selesai memakan semuanya,aku kemudian meraih air mineral disampingku.
"Alhamdulillah." Aku lalu merapikan pelastik bekas gorengan tadi.
Breem..bremm...breemmmm... Suara yang aneh menyusik siang yang damai milikku.
"Drone?. Drone itu membawa sesuatu."
Benda asing itu kemudian mendarat pelan tepat disampingku. Sebuah kain terikat dan dilipat dengan rapi.
"Brazerku!. " Aku kaget lalu memeriksanya dengan teliti.
"Smartphoneku juga ada, Alhamdulillah.. "
Drone itu kemudian terbang lagi, menjauh dan terus menjauh. Aku yang penasaran kemudian mengikutinya dengan diam-diam. Tak lama kemudian drone itu mendarat dengan perlahan. Tepat disampingnya ada anak kecil sedang duduk bersembunyi dibelakang tempat duduk. Dari belakangnya aku kemudian mengendap-ngendap mengamatinya.
"Yosh.. " Anak kecil lalu berdiri itu menepuk-nepuk pipinya. Anak kecil itu memakai serangam yang sama seperti milikku.
"Walaupun agak kebesaran tapi sepertinya dia sekolah disini." Kataku dalam hati. Anak kecil itu kemudian itu berbalik kearahku.
"Aaa...." Anak kecil itu terpaku menyadari keberadaanku.
"Ohhh.. Anak yg ketiduran tadi pagi ya?." Aku membalas tatapannya dengan senyum. Dia sama sekali tidak menjawab, dia lalu mendekatiku dengan perlahan. Setelah dia cukup dekat denganku kemudian dia hanya diam kaku.
"Halo? Makasih banyak ya! Aku sangat tertolong." Aku berterima kasih karna telah repot-repot mengantarkan blazerku.
Bruuk!.. Tiba-tiba tanpa alasan yang jelas dia menendang kakiku dengan cukup keras, dia kemudian berlari dengan kencang. Aku terduduk memegangi kakiku yang sakit. Tapi setelah beberapa meter dia berlari meninggalkanku, dikarenakan rumput yang lumayan tinggi atau sepatunya yang licin.
Brakkk!... Anak kecil itu terjatuh.
"Awas jatuh!." Aku meledeknya.
"Udah jatuh, Baka!." Anak kecil itu berbalik dengan wajah yang seperti ingin menangis.
"Sepertinya aku keterlaluan. Tapi dia bilang baka, sama seperti momo ya asalnya. Oh ya aku lupa menjelaskan kesalahpahamannya dia." Aku bergumam.
Menyadari anak kecil itu sudah hilang dari pandanganku. Aku kemudian berdiri membersihkan celanaku yg kotor karna tanah.
Ding dong ding dong. Suara speaker sekolah terdengar dari kejauhan.
"Kepada siswa bernama Satria Nusantara dan Momoka Yoshie diharap segera menghadap keruang kepala sekolah. Sekali lagi saya ulangi Kepada.."
"Aku padahal baru mau cari si momo. Kenapa ya?, iuran bulanan udah, absen ku yg bolong-bolong mungkin?, Tapi kan Momo anak yg cukup rajin, Oh ya mungkin masalah ekstrakulikuler. Tapi Aku sering melihat Momo sibuk dengan anak basket dan mading." Aku kemudian bergegas keruang kepala sekolah dengan pertanyaan-pertanyaan yg masih tidak terjawab di kepalaku.
Tok tok tok... Aku mengetuk pintu kepala sekolah.
"Ya masuk Satria." Suara wanita yg merdu membalas ketukanku.
Terlihat momo yg sudah duduk disofa didepan meja kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah sedang sibuk dengan komputer dimejanya. Jarinya menari-nari dengan lincah diatas keyboard miliknya. Sedangkan tangan yang lain secara perlahan mengerakan mouse dengan luwes. Dia juga sesekali tersenyum sendiri melihat layar monitor.
"Silahkan duduk satria, tunggu sebentar ya." Serunya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor.
Aku kemudian duduk disamping Momo.
"Momo, ada apa kita dipanggil?." Aku berbisik.
"Ngak tau, Aku juga baru dateng." Jawab Momo.
Kita bertiga kemudian hanya terdiam hanya ada suara ketikan dari keyboard milik kepala sekolah itu. Momo yg duduk kaku hanya menundukan kepalanya. Aku kemudian mengeluarkan smartphone milikku. Membuka Chat grup sekolah, hampir semuanya berisi posting tentang surat misterius itu.
"Ada yg bilang api dimonas bakal dicuri ya?."
"Ah paling-paling hanya orang iseng atau pengalihan isu."
"Eh mungkin aja ada atraksi baru dimonas.."
"Coba yu ulang tahun jakarta kita kesana rame-rame.."
"Ada pertunjukan laser nya juga lho"
"Ih norak dech"
"Band-band terkenal dan pak gubernur juga katanya bakal Hadir."
"Aku mau liat kembang api!"
Aku terus terpaku dengan layar smartphoneku. Aku sedikit kaget melihat posting baru saja masuk.
"Gadis bule dan teroris itu bertengkar lagi.!"
"Pasangan serasi!!!!"
"Seperti film holywood angota agent rahasia dan teroris yang jatuh cinta."
"Prikitiw!!!!!."
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, dengan cepatnya kabar itu tersebar.
"Kamu pernah ke monas Satria?." Bisik momo
"Eh... Pernah tapi waktu masih kecil." Jawabku dengan sedikit terkejut.
"Maaf aku ngintip, abisnya kamu serius banget sih." Momo tersenyum.
"Maaf ya momo, yang tadi dikelas aku buat Momo salah paham.. Aku juga cuekin Momo dikelas."
"Ga kok ga kok..Satria ga salah kok..." Momo panik sendiri melambai-lambaikan tangannya.
"Ehem ehem.. Satria dan Momo." Tanpa aku sadari kepala sekolah telah berdiri didepanku. Langsing dan tinggi, tubuh yang ideal seperti model. Kulitnya yang eksotis serta wajahnya yang selalu serius dengan kacamata diatas hidungnya yang mancung. Menambah pesona kecantikannya.
"Kalian tau kenapa ibu panggil disini ?." Kepala sekolah menatap kami dengan serius. Tatapan menusuk seakan-akan kami sedang diinterograsi. Aku dan Momo hanya saling menatap lalu mengeleng-gelengkan kepala.
"Hanya kalian berdua siswa kelas 2 yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Satria sama sekali tidak mengikuti kegiatan dari kelas satu. Sedangkan Momoka yang plin-plan hanya ikut-ikutan teman-temannya, bingung memilih antara basket dan mading tanpa mendaftarkan dirinya secara resmi. Sekarang pertanyaannya adalah kenapa?. Dimulai dari Satria." Dengan wajah datar dan serius ibu kepala sekolah menfokuskan tatapannya kepadaku.
"Kenapa ya aku juga binggung bu.. Belum ada kegiatan yang menarik perhatianku." Jawabku dengan ragu.
"Momoka?" Kepala sekolah mengalihkan pandangannya ke arah momo.
"Anu...Etoo..." Momo hanya bingung tidak bisa menjawabnya.
"Kalian tidak mau naik kelas?." Kepala sekolah memotong tidak sabar dengan jawaban momo.
"Tunggu dulu bu, bukanya itu terlalu berlebihan. Memaksa siswa untuk mengikuti kegiatan yg tidak disukainya. Bukanya salah satu motto sekolah kita itu hidup bebas dan bertanggung jawab. " Seruku.
"Hmm Berlebihan ya.. Kalau begitu begini saja. Ada ruangan kosong di samping ruang UKS. Gunakan itu, buatlah kegiatan positif yang kamu berdua suka, ibu tunggu laporannya besok lusa."
"Tapi bu..."
"Sekolah adalah rumahmu yang kau buat sendiri. Itu juga motto sekolah kita kan?. Nah masalah selesai, sekarang kalian boleh keluar, ibu masih sibuk dengan teman... maksud ibu dengan pekerjaan ibu, jangan lupa lusa kalian harus mengantarkan laporannya. Oh ya anggota minimal 5 orang dan satu guru pengawas." Kepala sekolah kemudian beranjak menuju pintu dan membukakannya untuk kami.
Momo dan aku hanya bisa menerima keputusannya lalu keluar dari ruangan itu.
"Kepala sekolah kita menarik ya?" Aku melirik momo yang berjalan disampingku.
"Eh masa? Aku pikir dia galak dan meyeramkan. Walaupun mungkin dia cukup giat dengan pekerjaannya." Momo membalas dengan dahi yg mengkerut.
"Giat?... hahahaha... justru sebalik nya Momo-san." Aku menjawab nya sambil menahan tawa.
"Sebaliknya gimana?." Balas Momo penasaran
"Kamu tau apa yang dia lakukan dengan komputernya sebelum berbicara dengan kita?"
"Dia sibuk dengan tugas-tugas pekerjaannya kan?!"
"Hahaha... Bukan Momo, dia sedang bermain game. Gerakan jarinya dengan dinamis menekan tombol F1, F2 dan F3 menandakan dia sedang menggunakan skill dalam game tersebut dan secara periodik dia tersenyum sendiri setelah dan sebelum mengetik beberapa huruf dikeyboard kemungkinan itu karna dia sedang chat dengan teman guild atau party nya."
"Wow Satria hebat seperti detektif beneran!." Dengan wajah yang berbinar-binar Momo menghentikan langkahnya menatapku dengan penuh kekaguman.
"Di...ditambah lagi dia keceplosan bilang Nah masalah selesai, sekarang kalian boleh keluar, ibu masih sibuk dengan teman... Kemungkinan yg dia maksud adalah teman guild atau teman party nya." Aku melanjutkan teoriku sambil tersipu malu karna wajah Momo yang terlalu dekat denganku. Aroma syampo miliknya tercium samar-samar.
"Wah keren-keren... Nah klo begitu Satria juga tau jawaban dari misteri surat ancaman pencurian yang sedang ramai di grup chat sekolah kita?, yang tadi Satria serius baca itu loh." Momo semakin dekat. Sekarang aku bahkan bisa merasakan nafas nya diwajahku.
"Kalau itu Momo-san sepertinya aku memerlukan investigasi yang lebih mendalam. Aku juga memerlukan informasi yang lebih banyak lagi." Aku kembali berjalan, mengindahkan tatapan penasaran momo. Aku hanya menfokuskan pandangan ku kedepan.
"Tapi aku ga nyangka ya kepala sekolah kita seperti itu." Kata Momo sambil mengikuti langkahku dari samping.
"Seperti itu gimana Momo-san?. Bermain game bukanlah hal yg buruk momo san, mungkin waktunya yang kurang tepat. Meskipun begitu kepala sekolah adalah orang yg baik. Dia bahkan sangat peduli sama kita berdua, ya kan?"
"Iya yah." Momo memngangguk sambil tersenyum.
Aku berjalan pelan menuju ruangan yang dimaksud kepala sekolah. Tanpa aku sadari pandangan para murid tertuju pada kita. Seperti biasa mereka berbisik-bisik sambil tertawa tertahan. Momo hanya memandangku polos seakan tidak peduli dengan tatapan mereka.
"Momo-san kalau aku boleh tanya, kenapa daritadi momo mengikuti aku." Tanyaku penasaran
"Eh kenapa?!. Kita kan mau meriksa ruang klub yang dibilang kepala sekolah, iya kan?."
"Momo bisa bergabung dengan anak basket atau mading kan?. Pasti mereka bisa menerima momo dengan senang hati."
"Aku ga boleh gabung dengan satria?" Momo menghentikan langkahnya, lalu tertunduk kecewa.
"Bukan begitu Momo yang baik, Momo tau kan aku mempunyai image yang buruk disekolah ini. Semua orang sepertinya takut denganku, ya itu wajar saja kakakku seorang teroris, bagi mereka terlibat denganku bisa jadi berbahaya. Jadi klo Momo terlalu dekatku, kemungkinan besar Momo bisa dikucilkan seperti aku."
"Kalo itu aku tidak peduli.. Jadi aku bisa ikutan ya?.. ya?.. ya? Satria boleh ya?." Momo memelas dengan polos menarik-narik lengan seragamku.
"Iyah iyah." Aku terkejut menganguk-angguk tak sanggup menghadapi tingkah Momo yang sedikit manja.
"Gadis yg unik." Kataku dalam hati. Tanpa sadar kami jadi saling memandang, kagum akan wajahnya yang kecil dan imut membuatku terpaku. Jari-jarinya yang putih dan mungil terdiam memegangi lengan bajuku. Aku kemudian melihatnya tersipu karna memandanginya dengan serius. Secara perlahan dia melepaskan tangannya dari bajuku, Momo lalu menghindari tatapanku sambil merapikan rambutnya yang hitam dan panjang. Akupun yang sudah deg-degan daritadi mulai melanjutkan langkahku lagi. Tanpa aba-aba, dengan langkah yang lincah Momo mengikuti berjalan disampingku. Sesekali aku melirik wajah nya yang sedikit terdunduk. Dia kadang tersenyum sendiri, dan seperti magnet yang kuat akupun tak kuasa ikut tersenyum melihatnya.
Entah beberapa lama kami berjalan, kami akhirnya sampai diruangan itu. Momo yang sepertinya sudah tidak sabar kemudian berlari kecil bergegas membuka pintu ruangan itu. Setelah berhasil membuka pintu momo lalu melirik kedalamnya. Tapi beberapa detik kemudian dia kembali menutup pintu lalu berlari kembali kearahku dengan tergesa-gesa.
"Sa..tria.. Se..se...se.. sepertinya kita salah alamat deh." Kata Momo dengan nada yg terputus-putus.
Aku yang penasaran kemudian mengapai pintu ruangan tersebut. Dengan perlahan aku membukanya.
"Momo-san seharusnya ini ruangan kosongkan?." Aku kemudian masuk melangkahkan kaki kedalam ruangan itu.
"Iyah-iyah."
"Lalu kenapa ada dua pasang sofa yang mewah, satu meja kaca antik, satu papan whiteboard, satu set komputer beserta kursi yg nyaman, keyboard dan mouse wireless yang cukup mahal, ditambah LCD 32 inci?. " Dengan wajah keheranan aku menyebutkan satu persatu benda yg ada dihadapanku.
"Ga cuma itu satria.. kita juga punya alat pembuat kopi dan AC baru. Apa kita harus tanya kepala sekolah lagi?." Kata momo sambil memandangi langit-langit.
"Sepertinya tidak perlu Momo-san dimeja ada surat pendaftaran klub. Didalam nya tertulis nama kita berdua, sepertinya ini benar tempat kita." Aku membalas sambil memperlihatkan kertas itu kearah momo.
"Gimana nih satria." Momo ikutan memasang wajah keheranan.
"Sepertinya kita harus tenang dulu Momo-san, sebentar lagi bel masuk, setelah pulang nanti kita ketemu lagi disini ya, aku juga masih bingung. Aku ngerti sih kalau sekolah kita mempunyai pendanaan yang cukup besar, tapi untuk klub baru yang bahkan tidak mempunyai nama sepertinya ini terlalu berlebihan. Setuju Momo-san? kita ketemu lagi disini setelah pulang sekolah ya?."
Momo menganngguk tersenyum, tidak terlihat lagi wajah heran dalam dirinya. Tak lama kemudian bel pun berbunyi. Dengan hati yang masih mengganjal, kami berdua pun sama-sama kembali kekelas.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar